"Pertama, anak itu harus diukur dengan alat ukur dan cara yang benar, jangan diterawang saja, jangan juga dibandingkan dengan anak-anak tetangganya, enggak boleh itu
Jakarta (ANTARA) - Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Damayanti Rusli Sjarif memaparkan tiga langkah mengenali balita stunting (gagal tumbuh) yang perlu diperhatikan oleh kader posyandu.

"Pertama, anak itu harus diukur dengan alat ukur dan cara yang benar, jangan diterawang saja, jangan juga dibandingkan dengan anak-anak tetangganya, enggak boleh itu," kata Damayanti dalam diskusi yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis.

Diskusi Kelas Orang Tua Hebat (Kerabat) kembali diselenggarakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) secara daring dengan tema "Terdiagnosa stunting, bagaimana perawatannya?"

Damayanti menegaskan alat ukur untuk balita sudah dibagikan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di setiap posyandu.

Baca juga: BKKBN: Intervensi penanganan stunting mesti ditarik dari hulu

"Ada yang namanya infantometer untuk usia 0-2 tahun dia harus diukur tidur, kalau di atas dua tahun dia harus diukur berdiri, namanya stadiometer," ujarnya.

Cara kedua untuk mengenali balita stunting, lanjutnya, mencatat atau plotting berat dan tinggi badannya dalam pengukuran grafik buku Kartu Ibu dan Anak (KIA).

"Ketiga, kalau sudah terbukti pendek atau sangat pendek, segera dilaporkan ke dokter atau puskesmas, kalau memang ternyata pendek, segera dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)," ucapnya.

Ia menjelaskan balita yang berisiko stunting memiliki tinggi badan di bawah standar 2,1 deviasi yang tertera pada buku KIA. Apabila balita ketika diukur terbukti pendek, maka setelah dirujuk ke RSUD, hanya dokter spesialis anak yang boleh menyatakan balita tersebut terbukti stunting atau tidak.

Baca juga: BRIN teliti manfaat daun kelor untuk atasi stunting dan anemia

"Di RSUD, dokter spesialis anak akan membedakan, pendeknya apakah karena kelainan bawaan atau genetik, atau memang karena stunting. Kalau stunting, kita harus perbaiki dengan makanannya," katanya.

"Tetapi kalau pendek karena keturunan, terus kita kasih makanan, hasilnya bisa lain, malah akan gendut atau obesitas, bisa muncul penyakit yang lain," imbuhnya.

Balita berperawakan pendek, lanjut dia, dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, baik memang terlahir pendek karena genetik, atau disebabkan karena kekurangan gizi jangka panjang.

"Anak kurang gizi itu sering sakit, penyebabnya bisa jadi karena tidak punya jamban dan sumber air bersih, jadi bolak-balik diare. atau sakit melulu, misalnya batuk sampai 100 hari, sebenarnya ini bisa dicegah dengan imunisasi," ujar dia.

Baca juga: Kemenkes: Rendahnya asupan protein hewani sebabkan stunting pada anak

Dokter spesialis anak ini juga mengingatkan, yang seringkali tidak terdeteksi yakni bayi lahir di bawah 2,5 kg, atau bayi dengan berat lahir rendah (BBLR).

"Bayi lahir di bawah 2.500 gram itu risiko menjadi stunting 51 persen, kalau tidak segera ditangani oleh dokter spesialis anak, bisa berbahaya, maka segera ditangani agar nanti bisa dilihat apakah ASI-nya kurang, ada alergi, dan mengapa berat badannya tidak naik," tuturnya.

Untuk itu ia menekankan agar balita yang terdeteksi pendek segera dirujuk ke puskesmas atau RS terdekat, karena balita yang stunting otaknya tidak dapat berkembang dengan sempurna.
 
Baca juga: BKKBN gencarkan Program BKB optimalkan penurunan stunting di 1.000 HPK

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024