Denpasar (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) RI mengumumkan angka stunting 2023 dengan Provinsi Bali kembali menjadi daerah dengan prevalensi terendah se-Indonesia.

“Provinsi Bali masih menjadi daerah dengan angka prevalensi stunting terendah di Indonesia, di mana angka prevalensi stunting 2022 sebesar delapan persen, sedangkan 2023 mencapai 7,2 persen,” kata Inspektur Utama BKKBN RI Ari Dwikora Tono.

Dalam keterangan Pemprov Bali diterima di Denpasar, Jumat, disebutkan bahwa selain menjadi yang terendah di Indonesia, angka ini jauh lebih rendah daripada prevalensi stunting nasional.

“Angka prevalensi stunting nasional sebesar 21,5 persen pada tahun 2023 lalu,” katanya saat Rapat Kerja Daerah Program Pembangunan Keluarga, Kependudukan dan Keluarga Berencana, Percepatan Penurunan Stunting Provinsi Bali Tahun 2024.

Meski sudah menjadi yang terendah, BKKBN RI tetap menargetkan pada akhir 2024 angka stunting di "Pulau Dewata" --sebutan untuk Bali-- kembali turun.

Dwikora menargetkan 14 persen untuk nasional dan 6,15 persen sisa stunting untuk Provinsi Bali.

Baca juga: Kota Semarang dan Jateng jadi tuan rumah Hari Keluarga Nasional

Mendengar target pemerintah pusat, Pemprov Bali optimistis stunting dapat kembali ditekan bahkan akhirnya nanti bisa mencapai nol persen.

“Kita di Bali walaupun sudah terendah nasional tapi angka 7,2 persen itu masih bisa kita turunkan, kita punya keyakinan bahwa dengan kerja sama kita bisa turunkan terus,” ujar Sekretaris Daerah (Sekda) Bali Dewa Made Indra.

Dia menjelaskan capaian penurunan prevalensi stunting di Bali tidak terlepas dari kerja sama banyak komponen, mulai dari masyarakat hingga pemerintah daerah.

Atas komitmen bersama tersebut, ia mengajak seluruh komponen tetap berupaya dalam melakukan upaya percepatan penurunan prevalensi stunting di Bali.

Gagal tumbuh akibat kurangnya gizi pada anak ini, menurut dia, bukan kemiskinan ekstrem penyebab utamanya, melainkan pengetahuan masyarakat, terutama orang tua.

“Seperti di Kabupaten Gianyar yang secara ekonomi relatif baik, tetapi di situ ada prevalensi stunting, prevalensi stunting lebih disebabkan karena kurangnya edukasi mengenai pentingnya cakupan gizi anak mulai dari saat pranikah, hamil, melahirkan hingga kesehatan dan cakupan gizi bayi hingga usia dua tahun,” kata dia.

Untuk itu, Pemprov Bali bersama BKKBN di daerah gencar melakukan upaya penurunan prevalensi stunting dengan pemberian edukasi melibatkan desa adat, organisasi keagamaan, serta tokoh keagamaan.

Dia mengatakan upaya penurunan prevalensi stunting harus dimulai dari hulu, yaitu di masing-masing wilayah desa adat, dengan pemimpin adat melaporkan tiap kali ada pasangan yang hendak menikah.

Pasangan muda-mudi tersebut dikumpulkan untuk diberi edukasi pranikah oleh tim pendamping dari BKKBN Bali di masing-masing desa.

Baca juga: BKKBN: Perempuan hamil maksimal usia 35 tahun guna cegah anak stunting
Baca juga: Prevalensi stunting Kaltim turun dari 23,9 menjadi 17,46 persen
Baca juga: Kabupaten Malaka NTT manfaatkan pangan lokal untuk cegah stunting

Pewarta: Ni Putu Putri Muliantari
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024