Bio Farma ingin mengajarkan filosofi untuk mencintai dan memelihara gedung yang bernilai cagar budaya.
Jakarta (ANTARA) - Bukan melulu cinta, bangunan berusia puluhan tahun-- apalagi bersejarah-- pun bisa tak lekang termakan oleh waktu. Gedung Heritage Bio Farma, yang ditetapkan sebagai salah satu bangunan cagar budaya di Kota Bandung, merupakan salah satu wujud nyatanya.

Ini merupakan salah satu bangunan di kawasan Bio Farma peninggalan masa kolonial yang berlokasi di Jalan Dr Djundjunan No. 28 atau dikenal juga sebagai Jalan Pasteur No. 28, Bandung, Jawa Barat. Letaknya sekitar 1,9 km dari Stasiun Bandung atau dapat ditempuh sekitar 30 menit dengan berkendara mobil.

Bangunan yang dulu bernama Gedung Cacar, karena pada saat itu Bio Farma memproduksi vaksin cacar akibat terjadinya pandemi cacar api di Indonesia tersebut, dibangun pada tahun 1926.

Arsitek Belanda Prof. Dr. Ir. Charles Prosper Wolff Schoemaker menjadi sosok penting dalam pembangunan bangunan itu. CPW Schoemaker diketahui juga merancang beberapa gedung bersejarah lain di Kota Bandung seperti Gedung Asia Afrika, Gedung PLN, Hotel Preanger, dan Gereja Bethel di Jalan Wastukencana.

Dalam rancangannya, sang arsitek diketahui berupaya memadukan unsur budaya timur dan barat. Budaya timur salah satunya tampak dari bentuk atap atau genting dengan kemiringan yang tinggi.

Ini juga tampak dalam karyanya di salah satu gedung bersejarah Bio Farma yang berdiri dengan kokohnya. Gedung yang kurang dari 2 tahun lagi berusia 100 tahun itu tampak dengan ciri khas atap atau genting dengan sudut curam.

Renovasi sempat dilakukan Bio Farma pada gedung ini pada tahun 2015, tanpa mengubah bentuk asli, tampak, dan detail-detail bangunan. Luas bangunan yang direnovasi sekitar 2.659 meter persegi terdiri atas lantai 1 seluas 2.030 meter persegi dan Lantai 2 seluas 629 meter persegi.

Pelaksanaan renovasi bangunan tertua di kawasan Bio Farma membutuhkan waktu selama 9 bulan, terhitung Maret 2015 hingga akhirnya diresmikan sebagai heritage pada 17 Desember 2015.

Renovasi bangunan yang sempat dinamai Landskoepok Inricting en Instituut Pasteur tersebut dikatakan sebagai tindakan pelestarian dan pemanfaatan agar makna budaya bangunan terpelihara dengan baik.

Sebelum direnovasi, atau tepatnya tahun 1997, Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung atau Bandung Heritage menginventarisasi gedung tertua di kawasan Bio Farma ini sebagai Bangunan Cagar Budaya di Kota Bandung. Penetapan sebagai salah satu Bangunan Cagar Budaya ini kemudian tertuang dalam Peraturan Daerah Kota Bandung No.19 Tahun 2009.

Bio Farma ingin mengajarkan filosofi untuk mencintai dan memelihara gedung yang bernilai cagar budaya.

Bangunan cagar budaya sendiri merujuk Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) merupakan warisan budaya bersifat kebendaan selain benda cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya dan kawasan cagar budaya.

Bangunan, benda, atau struktur yang dapat diusulkan sebagai benda atau bangunan atau struktur cagar budaya, antara lain, apabila memenuhi kriteria yakni berusia 50 tahun atau lebih, kemudian memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan bangsa.

Sekretaris Perusahaan Bio Farma Bambang Heriyanto mengatakan sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Bandung No. 7 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cagar Budaya, perusahaan mempertahankan bentuk asli dan struktur gedung mulai dari cat dinding, warna atap genting hingga estetika bangunan.

Cat dinding hampir seluruh bangunan masih berwarna putih, menjadi ciri khas bangunan buatan Belanda itu. Kemudian, daun jendela yang terbuat dari kayu jati dan terali besi pada jendela masih sama seperti dulu.

Lalu, demi kepentingan pemeliharaan, Bio Farma secara berkala melakukan pengecatan gedung dua kali dalam setahun, memelihara kebersihan dan integritas bangunan, termasuk memastikan tidak ada kerusakan atau kebocoran pada fisik bangunan, dengan tetap mengutamakan prinsip menjaga otentisitas bangunan selama pemeliharaan atau perbaikan tersebut berlangsung.

Bambang mengakui tidak menemukan kendala yang berarti dalam pemeliharaan bangunan cagar budaya tersebut. Perusahaan secara rutin menganggarkan biaya pemeliharaan bangunan Heritage Bio Farma.
Gedung Heritage Bio Farma. ANTARA/www.biofarma.co.id


Museum perusahaan

Di sisi lain, Bio Farma menerapkan beberapa modifikasi tanpa mengakibatkan bangunan kehilangan keasliannya atau berubah secara wujud dan gaya atau estetikanya.

Salah satunya yakni dengan penggunaan bangunan sebagai pusat administrasi perusahaan yang memungkinkan para direksi PT Bio Farma berkantor di sana atau sebagai area perkantoran.

Selain itu, perusahaan memanfaatkan sayap kanan bangunan menjadi museum yang menceritakan tentang penemuan kesehatan, wabah yang terjadi sebelum vaksin ditemukan, serta peralatan yang digunakan pada awal Bio Farma beroperasi.

Museum seluas sekitar 9 hektare ini dapat dikunjungi tamu akademikus atau instansi eksternal Bio Farma setiap dua kali dalam sepekan. Pengunjung bisa mendapatkan informasi melalui foto sketsa yang tersaji di dinding antara lain tentang pemimpin Bio Farma dari waktu ke waktu hingga video dari layar besar yang berisi peneliti perusahaan zaman dulu.

Hadirnya museum ini diharapkan memungkinkan untuk menjadi sarana pembelajaran atau penyebaran ilmu terkait sejarah perusahaan kepada khalayak publik.

Pada tahun 2018, melalui sebuah acara open house museum yang dihadiri berbagai kalangan termasuk Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Bandung serta komunitas misalnya Indonesian Medical Literacy (IMEL), Asosiasi Museum Daerah Jawa Barat (Amida Jabar), dan lainnya, Bio Farma ingin menambahkan konsep digital tanpa melepaskan unsur edukasi pada museum.

Pengunjung nantinya dapat mengamati dokumentasi sejarah Bio Farma dari masa ke masa, hingga merasakan pengalaman digital wisata kesehatan melalui dukungan realitas virtual (VR).







Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024