Jakarta (ANTARA) - Belum banyak orang di Indonesia yang melihat bambu sebagai sumber ekonomi strategis, meskipun bangsa ini memiliki tradisi bambu yang lekat sejak zaman nenek moyang dahulu.

Faktanya, bambu merupakan sumber daya pembangunan yang belum dimanfaatkan luas yang menyediakan solusi mitigasi dan adaptasi yang cerdas iklim.

Kenyataan di lapangan, bahkan di level global sekalipun, bambu menjadi komoditas dan sumber daya strategi berbasis pembangunan ekonomi hijau.

Berbagai nilai strategis dan unggulan komoditas ini, di antaranya bahwa bambu dapat tumbuh lebih dari 1 meter dalam 1 hari. Pertumbuhan yang cepat ini memungkinkan panen yang sering, dengan sekali menanam serta pengelolaan dan praktik panen yang bisa dilakukan langsung oleh petani.

Pertumbuhan yang cepat dapat mengatasi ketahanan terhadap bencana, menyimpan cadangan air dalam tanah, serta membantu mitigasi adaptasi terhadap perubahan iklim.

Masyarakat dapat mulai mendapatkan penghasilan dari bambu hanya dalam 3-6 tahun. Sebagai perbandingan, pohon untuk diambil kayu membutuhkan waktu lebih lama untuk panen.

Keunggulan tambahan bambu, sangat hemat biaya karena tidak memerlukan input, seperti pupuk dan mudah dirawat.

Di sisi lain bambu sejauh ini terbukti merupakan sumber daya yang sangat serba guna dan cepat diperbarui untuk menjadi sumber mata pencaharian.

Ke depan, peran ekonomi bambu diperkirakan akan terus berkembang, dengan tekanan terhadap sumber daya hutan, khususnya kayu yang semakin tinggi.

Di tengah isu perubahan iklim, dimana ketergantungan pada bahan bakar fosil dan sumber daya hutan yang mulai dikurangi, kini sudah banyak penelitian yang menjadikan bambu menjadi alternatifnya.


Berkembang pesat

Potensi ekonomi bambu tak bisa dipandang sebelah mata. Sebagai gambaran nilai pasar tahunan bambu dan rotan di seluruh dunia telah mencapai angka 60 miliar dolar AS.

Dengan industri bambu global yang semakin berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir. Komoditas bambu utama yang diperdagangkan di pasar internasional adalah produk industri, rebung, dan bahan baku yang dapat dimakan.

Pertumbuhan ini sebenarnya menawarkan peluang besar bagi masyarakat perdesaan di negara-negara penghasil bambu, termasuk Indonesia.

Misalnya saja di India, sebanyak 3,23 juta ton batang bambu dihasilkan di negara itu setiap tahun. Di India, sekitar 8,6 juta orang mata pencaharian mereka bergantung pada bambu dan industri yang dipasoknya.

Bambu India saat ini diperkirakan memiliki nilai yang sama dengan 4,4 miliar dolar AS atau sekitar 130 kali lipat dari 34 juta dolar AS yang tercatat pada tahun 2003.

Sementara di China sebanyak 7,5 juta orang bekerja di sektor bambu. Sebagaimana diketahui negeri Tirai Bambu itu merupakan produsen bambu terbesar di dunia, dengan produksi bernilai 19,5 miliar dolar AS pada tahun 2012 atau meningkat hampir 50 persen dari 13,1 miliar dolar AS yang tercatat pada tahun 2010.

Negara China, bahkan tetap menjadi model bagi negara lain dalam mengembangkan sektor bambu mereka sendiri.

Sementara di Indonesia, secara umum, bambu belum dimanfaatkan secara optimal karena faktanya nilai tambah bambu masih rendah dari skala pemanfaatan dan teknologi serta untuk keperluan inovasi.

Oleh karena itu, bambu sudah saatnya dikembangkan dalam skala memadai dan dalam klaster-klaster desa, sehingga layak untuk memasok bahan baku industri bambu setengah-jadi level desa. Sebab bambu sangat potensial menjadi penggerak ekonomi kerakyatan, pemajuan kebudayaan, dan pelestarian lingkungan hidup.

Apalagi Indonesia memiliki peluang dan tantangan dalam pengembangan dan pemanfaatan bambu secara terintegrasi dan berkelanjutan dengan berbasis pada masyarakat melalui sinergi program lintas sektor.

Pengembangan industri bambu di China bisa menjadi model yang direplikasi di Indonesia, mengingat, terlebih China, telah menjadi contoh keberhasilan kebangkitan industri bambu berbasis rakyat dengan penguatan model 4P (people, public, private partnership), kemitraan antara rakyat, pemerintah, dan swasta.

Sebenarnya, pengembangan bambu di Indonesia dapat didorong dengan faktor pendukung keberhasilan, di antaranya adanya dukungan politik kebijakan dan tata kelola yang baik, diikuti oleh penelitian pengembangan, mulai dari tingkat budi daya sampai pengolahan, teknologi, inovasi, hingga pengembangan serta pemasaran produk-produk yang dihasilkan.

Oleh karena itu ke depan sangat diperlukan dukungan kebijakan lintas sektor dalam mewujudkan industri bambu yang terintegrasi dari hulu ke hilir.


Penuh tantangan

Pengembangan komoditas bambu sebagai sumber ekonomi menghadapi beragam tantangan, di antaranya data dan informasi terkait potensi dan sebaran bambu yang masih belum tersedia secara lengkap.

Selain itu masih berkembang persepsi nilai penting bambu yang dianggap rendah dan belum memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi pemilik tanaman bambu.

Oleh karena itu, diperlukan insentif dan dukungan dalam menanam bambu. Di sisi lain hingga kini pemanfaatan bambu dengan nilai tambah yang tinggi masih kurang, ditunjang masih lemahnya rantai nilai produk bambu serta kelembagaan ekonomi dan industri yang belum terbangun.

Hal itu, dihadapkan pada masih terbatasnya aplikasi teknologi dan inovasi pengolahan produk dan kebijakan dan program hulu hilir dalam pengembangan bambu belum sepenuhnya terintegrasi.

Padahal budaya bambu melekat kuat dengan kearifan lokal yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat di Indonesia yang masih terpelihara hingga kini.

Sejatinya pengembangan bambu masih terbuka lebar peluangnya, mengingat komoditas ini cukup dekat dan sudah menjadi bagian penghidupan masyarakat perdesaan.

Ke depan diperlukan dukungan kebijakan lintas sektor dalam mewujudkan industri bambu yang strategis, sehingga bambu menjadi penggerak ekonomi perdesaan, pendongkrak pendapatan masyarakat, daerah, dan penggerak pembangunan ekonomi hijau.
 

Copyright © ANTARA 2024