Jakarta (ANTARA) - Chief Research Officer Political Strategy Group (PSG) Muhammad Ahsan Ridhoi memandang Prabowo Subianto dan Partai Gerindra perlu segera melakukan langkah-langkah politik strategis selama proses transisi dari pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin, Ahsan mengatakan setidaknya ada tiga langkah yang bisa dilakukan Prabowo Subianto dan Partai Gerindra,

"Ada tiga langkah yang bisa mereka ambil. Pertama, Prabowo harus mengoptimalkan 'victory power game' di transisi pemerintahan," kata Ahsan.

Menurut dia, Prabowo tak bisa berpangku tangan kepada Presiden Jokowi dalam melakukan transisi pemerintahan, sekalipun pemerintahannya mengusung ide keberlanjutan.

"Apalagi kalau sampai mengamini pendapat menteri-menteri Jokowi yang menyatakan tak perlu ada tim transisi. Itu akan membuat pondasi pemerintahan Prabowo sangat rapuh, karena bukan ia sendiri yang membangunnya,” kata Ahsan.

Kedua, kata dia, Partai Gerindra harus lebih lentur dalam menjalin komunikasi di parlemen.

"Yang terjadi selama ini, adalah kebekuan komunikasi dalam proses legislasi di parlemen akibat garis api kelompok koalisi dan oposisi," ujarnya.

Ketiga, lanjut dia, Partai Gerindra mesti memanfaatkan secara serius momentum Pilkada 2024 sebagai jalan regenerasi figur politik nasional guna menjaga dan meningkatkan basis suara pada pemilu selanjutnya.

Ahsan menilai untuk dapat membalik keadaan maka Partai Gerindra mau tak mau wajib memaksimalkan perjuangannya di perhelatan Pilkada Serentak 2024 pada November mendatang.

Dia menilai posisi Partai Gerindra sebagai partai pengusung utama Prabowo harus dimanfaatkan sebesar mungkin untuk menjaring sosok-sosok potensial dari internal maupun wajah baru dari luar, khususnya pada wilayah-wilayah strategis seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara.

"Dengan begitu, peluang Gerindra untuk melanjutkan kemenangan di pilpres lebih terbuka. Bahkan ketika nanti Prabowo tak lagi maju, Gerindra tetap bisa menjadi poros utama penentu bangunan koalisi di Pilpres 2029," tuturnya.

Dia menilai langkah-langkah strategis tersebut perlu segera diambil lantaran pemerintahan Prabowo berpotensi menghadapi tantangan politik berlapis yang dapat berdampak pada masa depan Partai Gerindra, sebab kemenangan Prabowo pada Pilpres 2024 tak diraih secara absolut yang membuatnya berpeluang disandera partai politik oposisi lewat parlemen.

"Pasalnya, total kursi parpol koalisi pendukungnya justru minoritas di parlemen. Total Gerindra, Golkar, PAN, dan Demokrat diproyeksikan meraup 280 kursi. Lebih sedikit dibanding total perolehan gabungan parpol pendukung Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin yang sebanyak 300 kursi. Sudah begitu, Partai Gerindra tak keluar sebagai pemenang pemilu. Hanya menduduki peringkat ketiga setelah PDI Perjuangan dan Golkar. Dampaknya, posisi Prabowo menjadi kurang strategis," katanya.

Partai Gerindra, tambah dia, juga tak memiliki magnet politik besar untuk mempengaruhi pengambilan keputusan di parlemen, meskipun Prabowo memegang dukungan Partai Golkar yang jumlah kursinya diproyeksikan terbesar kedua di parlemen setelah PDI Perjuangan.

"Golkar bukanlah partai pengusung utama Prabowo. Hubungan politik di antara mereka hanya bersifat resiprokal atau timbal balik. Namun, tak ada jaminan Golkar–sebagaimana pula parpol koalisi Prabowo selain Gerindra–akan selalu mendukung langkah Prabowo di parlemen. Selama ini suara Gerindra sangat dipengaruhi coattail effect dari Prabowo. Mengingat Prabowo adalah wajah tunggal partai di tengah tak ada tokoh alternatif lain yang bisa sebesar dirinya,” kata Ahsan.

Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2024