Tidak pernah ada keinginan dari Kementerian Pertanian untuk mempersulit izin impor melalui RIPH
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pertanian (Kementan) menyatakan tidak pernah mempersulit izin impor produk hortikultura melalui layanan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) di Direktorat Jenderal Hortikultura.

“Tidak pernah ada keinginan dari Kementerian Pertanian untuk mempersulit izin impor melalui RIPH,” kata Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan Kuntoro Boga Andri dalam keterangan di Jakarta, Sabtu.

Kuntoro menyampaikan hal tersebut sebagai tanggapan Kementerian Pertanian untuk memberikan jawaban terkait pemberitaan atas dugaan maladministrasi dalam layanan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) di Direktorat Jenderal Hortikultura yang disampaikan oleh Ombudsman.

Dia menuturkan bahwa Kementan menjamin pemberian RIPH pada 2024 hanya akan sesuai dengan kuota yang telah ditetapkan melalui rapat koordinasi terbatas (rakortas), yakni sebanyak 650 ribu ton.

“Di waktu yang lalu memang terjadi pemberian RIPH pada 2023 mencapai 1,2 juta ton, padahal kesepakatannya hanya 560 ribu ton. Karena itu Kementan lakukan evaluasi teknis kembali pemberian RIPH, agar tujuan awalnya yakni memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri dan meningkatkan produksi dapat terpenuhi,” ujar Kuntoro.

Saat ini, lanjut Kuntoro mengatakan pemberian izin impor produk hortikultura juga dilakukan dengan melihat kondisi pasokan dari dalam negeri, khususnya di saat musim panen raya.

“Maka perizinan impor akan dibatasi agar tidak mengganggu harga pembelian komoditas petani dalam negeri,” jelas Kuntoro.

Lanjut Kuntoro menyampaikan bahwa kewajiban tanam sebesar 5 persen dari total kuota RIPH merupakan amanat dari Peraturan Menteri Pertanian Nomor 46 Tahun 2019 tentang Pengembangan Komoditas Hortikultura Strategis.

Ketentuan wajib tanam, kata Kuntoro, merupakan sebuah niat baik untuk meningkatkan produksi bawang putih dalam negeri, dan apabila pelaksanaannya belum maksimal atau menyimpang maka wajib diawasi bersama, termasuk koordinasi dengan Ombudsman dan aparat penegak hukum.

Kuntoro menambahkan ketentuan wajib tanam tidak perlu untuk dihapuskan, melainkan perlu peningkatan pengawasan. Hingga saat ini Kementan mendata sebanyak 50 persen dari sekitar 400 perusahaan yang mendapat RIPH tidak menjalankan kewajiban banyak tanam.

“Kementerian Pertanian juga melalui Ditjen Hortikultura menyatakan melakukan perbaikan layanan sistem RIPH online dengan mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas,” terang Kuntoro.

Kementan menyatakan bahwa selama ini layanan online dilakukan oleh petugas dengan sistem buka tutup, dengan maksud prioritas kepada pendaftar yang sudah masuk terdahulu untuk diselesaikan dulu prosesnya.

Ditjen Hortikultura juga akan mengurangi penundaan berlarut pemrosesan permohonan RIPH yang kewajibannya sudah lengkap dan layanan tidak melebihi baku mutu waktu serta ketentuan.

Selanjutnya, Kuntoro menjelaskan bahwa saat ini pengawasan internal di Kementan makin ketat, apalagi setelah diisinya jabatan Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian oleh Komisaris Jenderal (Komjen) Setyo Budiyanto yang merupakan polisi jenderal bintang tiga yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Direktur Penyidikan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Inspektorat Jenderal Kementerian Pertanian akan melakukan evaluasi dan pengawasan, serta pencegahan terhadap semua praktek korupsi dan juga tindak pidana yang mencoreng nama baik Kementan sebagai leading sector produksi pertanian.

Para pejabat Kementan dari Eselon I, sampai Direktur, Sekretaris Ditjen/Badan dan jajaran di bawahnya dilarang melakukan pertemuan tertutup dengan pihak pengadaan barang dan jasa, importir, maupun swasta yang sedang memproses perijinan di Kementan.

“Semuanya dilakukan secara transparan, online atau pertemuan rapat terbuka di Kantor. Semua harus dilakukan secara terbuka, bebas calo dan tidak ada pungli,” jelas Kuntoro.

Sebelumnya diberitakan, Ombudsman RI menemukan beberapa permasalahan maladministrasi dalam proses pemberian rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) bawang putih oleh Kementerian Pertanian (Kementan).

Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (22/3) mengungkapkan bahwa temuan ini didapat setelah Ombudsman melakukan pemeriksaan terhadap 12 pihak, di antaranya Kementan, Badan Pangan Nasional, Lembaga Nasional Single Windows, Badan Karantinan Indonesia, dan Kementerian Perdagangan.

Dalam temuannya, Yeka menyebut banyak importir bawang putih yang masih kesulitan mendapatkan persetujuan impor. Hal ini disebabkan oleh penerbitan RIPH dari Direktorat Jenderal Hortikultura Kementan yang bermasalah.

Yeka menjelaskan bahwa banyak importir yang tak bisa masuk ke sistem RIPH Online, ada juga permohonan yang diajukan oleh importir ditolak, dan banyak pula yang masih belum diverifikasi oleh Kementan.

Padahal, sesuai dengan Permentan Nomor 39 Tahun 2019 Pasal 19, proses validasi dan verifikasi dokumen teknis RIPH seharusnya dapat diselesaikan dalam waktu 5 hari kerja.

Namun, Yeka mengatakan bahwa sebagian permohonan lain justru memiliki jangka waktu yang relatif cepat atau masih dalam jangka waktu yang ditentukan.

“Terlapor terbukti melakukan maladministrasi berupa pengabaian kewajiban hukum, tidak memberikan pelayanan, dan diskriminasi dalam menyelenggarakan layanan permohonan RIPH pada tahap penerimaan,” katanya pula.

Baca juga: Ombudsman: RIPH bawang putih seharusnya tugas Bapanas, bukan Kementan
Baca juga: Puskapol: buka masukan publik dalam penyusunan Permentan RIPH
Baca juga: KPPU minta pemerintah beri sanksi pengusaha tunda impor bawang putih

 

Pewarta: Muhammad Harianto
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2024