Bandarlampung (ANTARA) - Kalangan akademisi dan praktisi bidang kelautan dan budi daya perikanan menyerukan agar menyetop kriminalisasi terhadap petambak udang Karimun Jawa karena dituding melakukan pencemaran air laut,

"Penanganan kasus pencemaran air laut dengan tersangka petambak udang Karimun Jawa hendaknya dilakukan dengan metode ilmiah. Hal itu harus dilakukan demi menghindarkan para petambak dari tindakan kriminalisasi oleh aparatur," kata Manajer Produksi Tambak PT Kerta Arnawa Jaya Ir IBM Suastika MSi, dalam keterangan diterima di Bandarlampung, Selasa.

IBM Suastika menegaskan, proses pengambilan sampel yang dilakukan aparat penegakan hukum(Gakkum) KLHK, jelas tidak memenuhi prosedur standar yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Alasannya, lanjut dia, di area perairan atau laut lepas, amatlah mustahil aparat bisa menarik kesimpulan sahih dengan hanya melakukan satu kali pengujian kualitas air di satu titik sampling.

“Hal ini mengingat kualitas air dilihat dari semua parameter memiliki dinamika temporal mengikuti siklus harian, musiman, pasang surut, turbulensi, serta dinamika spatial mengikuti batimetri, jarak dari garis pantai, posisi terhadap ujung teluk dan tanjung, serta proses rekresi dan akresi garis pantai,” ujar Suastika.

Lebih jauh, ia memaparkan, untuk menyebut adanya zat atau partikel pencemar pada satu kawasan dengan besaran atau jumlah yang bisa memicu kerusakan lingkungan atau bahkan kematian, diperlukan uji toksisitas atau bio assay. Langkah ini mendasarkan pada asumsi bahwa semua materi atau senyawa di dalam air berpotensi menimbulkan gangguan pada biota air jika memenuhi kadar tertentu.

Suastika memaparkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menerbitkan Permen KP nomor 30 tahun 2010 yang mengatur zonasi kawasan konservasi perairan. Yakni, zona kawasan inti, zona kawasan perikanan berkelanjutan, dan zona pemanfaatan. Pada zona pemanfaatan itulah, pemerintah tidak memberi batasan terhadap kegiatan tertentu. “Siapapun boleh beraktivitas di zona itu dengan memanfaatkan sumber daya secara berkelanjutan,” katanya.

Kritik keras kepada aparatur juga disampaikan Profesor La Ode M Asian dari Universitas Haluoleo, Sulawesi Tenggara,

La Ode mengaku miris menyaksikan tayangan di media sosial yang menunjukkan betapa petambak Karimun Jawa digiring petugas bersenjata laras panjang.

“Mengapa petambak diperlakukan bagaikan teroris? Tindakan aparat yang seperti itu membuat miris dan harus segera dihentikan,” tegas La Ode.

La Ode juga mengingatkan, ekosistem laut memiliki karakteristik terbuka. Sehingga, sumber pencemaran bisa datang dari mana saja. Oleh karena itu, sebelum menimpakan masalah pencemaran kepada para nelayan, sebaiknya dikaji dulu secara mendetil dan berbasis pada ilmu pengetahuan.

Berdasarkan informasi yang berkembang di media massa, lanjut La Ode, terkesan sangat kuat proses penanganan kasus pencemaran lingkungan terhadap para petambak Karimun Jawa tidak berlandaskan pada azas dan prinsip keilmuan. Kontan hal itu memunculkan sinyalemen terjadinya kriminalisasi.

“Para petambak ini tergolong sebagai kelompok masyarakat produktif. Sudah sepatutnya pemerintah memberikan motivasi untuk mendorong kemajuan usaha mereka. Bukan malah sebaliknya, melakukan kriminalisasi,” tandas La Ode.

Sinyalemen praktisi tambak dan akademisi terkait isu kriminalisasi memperoleh bukti ketika Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), melalui Wakil Ketua MAI Budhy Fantigo, melakukan kunjungan lapangan ke lokasi tambak milik para tersangka.

Di lokasi tambak milik Mirah, tersangka pelaku pencemar air laut, Budhy menjumpai fakta yang mencengangkan.

“Bu Mirah ternyata membangun IPAL dengan metode kolam resapan. Dia membangun kolam cukup luas di samping tambaknya. Lalu, air limbah tambak itu dialirkan ke kolam resapan ini. Jadi, air limbah Bu Mirah ini tidak pergi ke mana-mana. Bagaimana mungkin dia dijerat dengan pasal pencemaran air laut?” ujar Budhy.

Kejanggalan juga ditemukan dalam dokumen hasil pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) Gakkum KLHK yang menyebut, pasal pencemaran lingkungan dijeratkan kepada tersangka Mirah didasarkan pada pengambilan sampel air laut pada sekitar akhir 2022.

“Sedangkan Bu Mirah mulai menebar benih udang baru pada September 2023. Bagaimana mungkin Bu Mirah mencemari air laut sebelum dia membuka tambak? Kasus yang sungguh aneh, tapi proses hukumnya terus berjalan. Gakkum KLHK wajib menjelaskan hal ini kepada publik," ujaŕmya.

Budhy pun melanjutkan, pemantauan juga dilakukan di lokasi tambak milik tersangka lain, Sugianto. Di lokasi itu, Budhy mengaku menemukan sistem pembuangan limbah atau IPAL yang cukup panjang dengan pipa mencapai 700 meter.

Alhasil, air limbah tidak langsung masuk ke perairan laut, melainkan diproses terlebih dulu melalui jaringan IPAL. Setelah melewati ruas IPAL pertama yang berdekatan dengan tambak, Budhy menerangkan, air terus berjalan menyusuri kanal yang berbatasan dengan hutan bakau.

Bahkan di sepanjang jalur itu, sambung dia, air juga mengalami proses oksidasi untuk penjernihan.

“Silakan datang dan lihat sendiri untuk memastikan apakah hutan mangrove di sekitar tambak Pak Sugiono mati gara-gara limbah. Saya sampaikan di sini, ketebalan mangrove di tambak Pak Sugiono sekitar 300 an meter. Ikan berbagai jenis juga terlihat banyak berkeliaran di aliran IPAL menandakan air limbahnya tidak berbahaya. Lantas di mana bentuk kejahatan yang dituduhkan kepadanya itu?” ungkap Budhy.

Seperti diberitakan sebelumnya, aparat Penegakan Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup dan Kehutanan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia telah menangkap sebanyak empat petambak Karimun Jawa atas sangkaan pencemaran air laut Karimun Jawa, pada Maret 2024.

Pewarta: Agus Wira Sukarta
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024