Jakarta (ANTARA News) - DPR menolak rencana pemerintah melikuidasi dan menjual pabrik pupuk PT Aceh Asean Fertilizer (AAF) di Lhokseumauwe, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD), apalagi pabrik pupuk itu hanya dijual seharga Rp400 miliar dari nilai asetnya senilai Rp4 triliun. Penolakan itu disampaikan Wakil Ketua DPR, Muhaimin Iskandar, dan Ketua Komisi VI DPR, Didik J. Racbini, beserta sejumlah anggota Komisi VI di Gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa. Muhaimin menyatakan, DPR tidak bisa menerima rencana pemerintah melikuidasi dan menjual pabrik itu, karena mampu berproduksi 360 hari dalam setahun tanpa henti, dan produksinya melebihi kapasitas. Sementara itu, Didik menegaskan: "Ini anomali dalam kebijakan pemerintah terhadap AAF. Pabrik pupuk dengan kemampuan berproduksi 110 persen dari kapasitas justru dijual." Anggota Komisi VI dari Fraksi Partai Demokrat (PD), Azam Azman Natawijana, mengemukakan bahwa likuidasi pabrik pupuk AAF harus berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP), namun sampai sekarang tidak ada PP yang menjadi dasar likuidasi dan penjualannya. Pemerintah telah menerima tawaran dari PT Medco dan satu perusahaan asal China, dan pemerintah menetapkan tanggal 28 Agustus 2006 sebagai hari terakhir pemasukan penawaran. "Penjualan ini melanggar UU. Tidak bisa dilanjutkan, batalkan saja," katanya. AAF didirikan 1979 dan merupakan perusahaan patungan lima negara, yaitu Indonesia yang menguasai 60 persen saham, Singapura satu persen dan Malaysia, Filipina, serta Thailand masing-masing 13 persen. Anggota Komisi VI DPR dari Aceh, Zainal Abidin Hussein, menyatakan bahwa AAF merupakan kebanggaan masyarakat Aceh setelah gas Arun tidak lagi dikuasai perusahaan dalam negeri, sehingga masyarakat harus berusaha mempertahankannya. "Dulu masyarakat sekitar rela melepaskan lahannya kepada pemerintah demi berdirinya pabrik. Namun, ketika akan dijual, maka masyarakat pun resah. Mereka tak rela dan berusaha menguasai kembali tanah yang dulu diserahkan kepada AAF," katanya. AAF sangat penting bagi pertanian Indonesia, karena menghasilkan pupuk jenis urea. Upaya mempertahankan AAF juga untuk mempertahankan pertanian nasional yang berada di ambang kehancuran. Secara terpisah, Anggota Komisi VI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), Hasto Kristanto, menyatakan bahwa AAF harus dipertahankan, dan tidak masuk akal menjual pabrik seharga Rp400 milar, sementara aset yang ada Rp4 triliun. "Selamatkan pabrik pupuk ini. Batalkan rencana likuidasi dan penjualan AAF," tegasnya. Pemerintah beralasan untuk menjual AAF lantaran kesulitan memperoleh gas. Hal itu, menurut Hasto tidak masuk akal, karena sebenarnya gas bisa diperoleh dari PT Pupuk Iskandar Muda (PIM). Pabrik pupuk AAF, katanya, bisa dipertahankan bila diintegrasikan dengan PIM, sehingga PIM akan semakin berkembang dan AAF juga akan kembali beroperasi. Jika tidak menggunakan gas, menurut dia, AAF bisa dioperasikan menggunakan batubara yang juga ada di Aceh, sedangkan dana operasional bisa menggunakan Rekening Dana Investasi (RDI). "Kedua pabrik pupuk diintegrasikan dengan sistem Technical Assistance Contrat (TAC)," tambahnya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006