Palembang (ANTARA) - Masyarakat Kecamatan Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, menyemarakkan tradisi Midang Bebuka saat Hari Raya Idul Fitri 1445 Hijriah.

Midang Bebuke merupakan aksi arak-arakan muda mudi menggunakan pakaian adat saat hari ketiga dan keempat Idul Fitri dan menjadi kegiatan rutin tahunan warga di wilayah itu. Bahkan midang telah ditetapkan sebagai kekayaan khasanah budaya masyarakat Kayuagung melalui sertifikat Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten OKI Ahmadin Ilyas dalam keterangan tertulis yang diterima di Palembang, Sabtu, mengatakan rangkaian Midang tahun ini dirangkai dengan perlombaan cang-incang.

Cang-incang merupakan salah satu jenis sastra lisan yang melekat dengan tradisi masyarakat Kayu Agung. Cang-incang biasanya ditampilkan dalam upacara perkawinan. Hingga kini tradisi ini masih kelihatan fungsinya baik di dalam kalangan masyarakat yang tinggal di dalam kota Kayu Agung maupun yang tinggal di kota lainnya.

"Harapan kami dengan adanya perlombaan Cang Incang, maka akan ada generasi penerus yang terus melestarikan tradisi turun-temurun asli Kayuagung," katanya.

Baca juga: Tujuh warisan budaya OKI terdaftar dalam Kekayaan Intelektual Komunal

Ia menjelaskan rute kegiatan midang akan dilaksanakan di sepanjang aliran Sungai Komering, pada hari pertama midang bebuke diikuti oleh 6 kelurahan di Kecamatan Kota Kayuagung, yakni Kelurahan Kedaton, Perigee, Kayuagung Asli, Cinta Raja, Sida Kersa, dan Tanjung Dancing. Keesokannya akan diikuti Kelurahan Kuta Raya, Sukadana, Paku, Mangun Jaya, dan Jua-Jua.

"Rute perjalanan dimulai dari Kelurahan Kayuagung Asli menuju Kedaton. Kemudian menyeberang memakai perahu ketek menuju Jua-jua dan berkumpulnya di pendopo rumah dinas Bupati OKI, dirangkai dengan perlombaan cang-incang. Setelah itu, para peserta dapat kembali ke kelurahan masing-masing," kata Ahmadin.

Tokoh Masyarakat Kayuagung Saiful Ardan mengatakan bahwa awal mula Midang Bebuke terjadi sekitar abad ke-17. Konon, midang dijadikan sebagai syarat pernikahan.

Ia menjelaskan, pada masa itu ada perseteruan antara pihak mempelai laki-laki dan perempuan. Pihak mempelai laki-laki berasal dari keluarga yang miskin sementara pihak perempuan berasal dari keluarga yang terpandang.

Baca juga: Perkawinan Mabang Handak jadi warisan budaya tak benda

Pihak perempuan meminta sejumlah syarat kepada keluarga laki-laki berupa arak-arakan kereta hias menyerupai naga lengkap dengan gegawaan-nya. Singkat cerita persyaratan tersebut dipenuhi.

“Jadi, sejak peristiwa itulah, masyarakat Kota Kayuagung menyelenggarakan acara Midang Bebuke Morge Siwe,” ujarnya.

Ia mengatakan Midang dalam istilah masyarakat Kayuagung adalah sebuah kegiatan berjalan kaki dengan menggunakan pakaian adat perkawinan masyarakat Kayuagung, sedangkan bebuke artinya lebaran.

“Kala itu midang merupakan perkawinan dalam adat yang tertinggi di Morge Siwe (Sembilan Marga) yang merupakan persyaratan untuk jemput mempelai perempuan oleh mempelai laki-laki atau masuk dalam adat istiadat perkawinan, dan seiring dengan berjalannya waktu midang ini terus mengalami perkembangan sehingga menjadi sebuah agenda pariwisata di OKI,” kata Ardan.

Baca juga: Marga Danau di OKI Sumsel konsisten jaga tradisi

Penjabat Bupati OKI Asmar Wijaya mengapresiasi dukungan masyarakat sehingga tradisi midang tetap lestari hingga kini.

"Tentu tradisi ini tetap terjaga berkat dukungan masyarakat. Antusiasme dan kesadaran masyarakat yang tinggi untuk menjaga warisan leluhur,” kata dia.

Pewarta: Ahmad Rafli Baiduri
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2024