Jakarta (ANTARA News) - Angka kemiskinan dalam pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono penyampaian Nota Keuangan dan RAPBN tanggal 16 Agustus 2006 lalu seharusnya diperbarui bukan data tahun 2005, meskipun itu data resmi Badan Pusat Stastistik (BPS) yang terakhir. "Mestinya harus di-`up date` (diperbarui), katanya kan BPS baru akan mengeluarkan pada September 2006," ujar Ketua Umum Kadin Indonesia MS Hidayat di Jakarta, Selasa, ketika ditanyai tanggapannya mengenai penggunaan data kemiskinan tahun 2005 oleh Presiden yang menimbulkan polemik. Hidayat mengatakan kalau terpaksa menggunakan data angka kemiskinan yang lama karena data baru belum selesai disusun, maka sebaiknya pemerintah menyebutkan bahwa hal itu data lama. "Karena BPS baru mengeluarkan (data) pada september, maka diprediksi saja kira-kira berapa, karena terpaut satu bulan, mestinya bisa diprediksi atau sama sekali tidak disebutkan angkanya supaya tidak salah paham," ujarnya. Hidayat mengaku baru menyadari hal itu setelah mempelajarinya lebih lanjut. "Saya lihat sih memang yang tertera di situ angka sensus tahun 2005 bulan Pebruari, jadi itu menjelaskan tingkat kemiskinan yang terjadi tahun sebelumnya," katanya. Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Benny Sutrisno juga menyoroti angka penurunan pengangguran yang dikemukan BPS pada semester pertama 2006. Menurut dia, angka pengangguran saat ini tidak mungkin menurun, mengingat kinerja industri dan investasi semakin melamban. "Hal itu (penurunan jumlah penganggur) hanya bisa terjadi kalau waktu disensus ketika ditanya orang bekerja atau tidak dijawab bekerja, tetapi ternyata masuk ke sektor informal. Lalu bagaimana dengan angkatan kerja yang terus bertambah, sementara pengangguran lama saja belum terserap," katanya. Benny mengatakan saat ini saja di sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) terjadi tren pengurangan tenaga kerja karena turunnya omzet penjualan terutama di dalam negeri. "Kalau pun ada investasi (industri TPT), hanya berupa penggantian mesin-mesin baru yang canggih dan otomatik, sehingga arahnya juga meminimalisir jumlah tenaga kerja di perusahaan tersebut," katanya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan di Gedung MPR/DPR-RI pada 16 Agustus menyebutkan tingkat kemiskinan berhasil dikurangi dari 23,4 persen pada tahun 1999 menjadi 16 persen pada tahun 2005. Namun menurut Tim Indonesia Bangkit, data yang dikemukakan Presiden merupakan data tahun 2005 sebelum kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), padahal kenaikan BBM tersebut menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk miskin. Tim itu mencatat angka kemiskinan naik dari 16 persen per Februari 2005 menjadi 18,7 persen per Juli 2005 dan 22 persen per Maret 2006.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006