Jakarta (ANTARA News) - Berada di Kecamatan Gunung Purei, Kabupaten Barito Utara, Gunung Lumut yang masih menjadi bagian dari kawasan Pegunungan Schwaner dan Muller di "jantung" Kalimantan menyimpan keistimewaan tersendiri.

Gunung yang memiliki luas sekitar 8.000 hektare (ha) dan memiliki puncak tertinggi sekitar 1.210 mdpl tersebut saat ini menjadi bagian dari kawasan Hutan Lindung Lampeong-Gunung Lumut dengan luas sekitar 28.000 ha.

Informasi siapa saja yang pernah mencapai puncak tertinggi gunung tersebut masih simpang siur meski ada penduduk dari salah satu desa terdekat yang membenarkan soal keberadaan patok milik Belanda di puncak gunung.

Pada satu kesempatan dalam media trip bersama WWF Kalimantan Tengah untuk mengobservasi kawasan Gunung Lumut dan Desa Muara Mea pada tanggal 11--20 November 2013, Kepala Adat Desa Muara Mea Mantung mengatakan puncak dari gunung yang memang disakralkan masyarakat Dayak penganut Kaharingan tersebut tidak dapat didaki.

"Tidak bisa sampai puncak, bisa mati," ujar Mantung.

Terlepas dari unsur mistis yang menjadi kepercayaan masyarakat desa di sekitar gunung tersebut, medan menuju puncak-puncak Gunung Lumut memang tidak mudah.

Ketua Yayasan Gunung Lumut-Muller Syahdan Sindrah yang pernah mendampingi Tim Ekspedisi Muller Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang melakukan penelitian di gunung tersebut pada tahun 2003 mengaku hanya sampai di puncak kelima dengan ketinggian sekitar 1.040 mdpl.

Setelah 23 hari melakukan penelitian, menurut dia, tim ekspedisi dari LIPI ini memutuskan untuk turun.

Salah satu yang menjadi alasan karena tidak ada lagi sumber air yang dapat dipergunakan untuk bertahan hingga ke puncak tertinggi, yakni puncak ketujuh Gunung Lumut tersebut.

Baik Mantung maupun Syahdan membenarkan adanya udang yang hidup di antara lumut-lumut tebal di gunung tersebut.

Mantung pun mengaku pernah melihat kura-kura dengan leher panjang yang hidup tidak jauh dari salah satu danau kecil di sana.

Sesuai namanya, gunung ini memang memiliki keistimewaan berupa hamparan-hamparan lumut yang menutupi tanah, batu, batang pohon, hingga ranting.

Menurut Syahdan, ketebalan lumut tersebut makin menjadi-jadi di atas ketinggian sekitar 900 mdpl meski di ketinggian sekitar 600 mdpl pun hamparan lumut sudah dapat terlihat.

"Kalau kita masuk, bisa sampai ke paha atau pinggang. Jadi, harus hati-hati kalau melangkah, takutnya terperosok. Kadang di bawah lumut itu ada tikus hutan atau hewan-hewan kecil lain hidup di sana," lanjutnya.

Observasi Gunung Lumut

LIPI mendapat kepercayaan untuk melakukan survei potensi keanekaragaman hayati di pegunungan Mueller dengan membentuk Tim Ekspedisi Mueller yang melibatkan beberapa ahli dan terbagi dari tiga bagian yang berlangsung mulai dari 2003 hingga 2005.

Ekspedisi tersebut berhasil menginventarisasi 1.200 jenis tumbuhan, 159 jenis burung, 24 jenis kupu-kupu, 282 jenis ngengat, 17 jenis reptil, 11 jenis ampibi, 41 invertebrata gua, dan 82 jenis ikan. Tercatat pula sedikitnya 40 jenis tumbuhan, sembilan jenis ikan, dan 10 jenis burung yang endemik Kalimantan.

Dalam ekspedisi selama tiga tahun tersebut juga tercatat ditemukan 10 jenis tumbuhan dan delapan satwa berupa enam jenis burung, satu jenis macan dahan, dan satu jenis bulus yang langka.

Selain itu, ditemukan pula lima jenis ikan dan satu jenis tumbuhan yang termasuk jenis yang baru, serta sejumlah jenis flora dan fauna yang diduga jenis baru seperti Thismia mullerensis.

Namun, temuan tersebut memang tidak seluruhnya berasal dari Gunung Lumut karena ekspedisi tersebut dilakukan di Bukit Batikap, hulu sungai Busang, Sapathawung, Batu Ayam di Kabupateng Murung Raya, hingga Gunung Lumut di Kabupaten Barito Utara.

Observasi selama dua hari dua malam yang dilakukan WWF Kalimantan Tengah dan sejumlah media nasional dan daerah bersama beberapa staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan Barito Utara di kawasan Hutan Lindung Lampeong-Gunung Lumut pun dapat menginventarisasi beberapa jenis tumbuhan.

Dalam pendakian hingga ke puncak Bawo Biang atau Bukit Beruang setinggi 761 mdpl di kawasan Hutan Lindung Lampeong-Gunung Lumut yang ditempuh dalam waktu hampir selama empat jam dari Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN) PT Indexim Utama tersebut rombongan juga menemukan jejak fauna yang menjadi penghuni hutan lindung tersebut.

Pada ketinggian sekitar 500 mdpl ditemukan tempat bertengger Merak dan kubangan bekas babi hutan, sedangkan di puncak Bawo Biang sebuah pohon tampak berlubang relatif cukup besar yang menurut Kepala Adat Desa Muara Mea Mantung, lubang tersebut dibuat oleh Beruang Madu yang mencari rayap.

Sepanjang pendakian tersebut rombongan sering ditemani suara burung Rangkong atau pun Bubut, sedangkan lipan, rayap, semut besar, ulat bulu, lintah daun, pacet tanah, dan pacet daun mudah ditemui.

Beberapa jenis anggrek pun dapat dijumpai salah satunya adalah anggrek macan.

Meski belum sampai di Gunung Lumut, berbagai jenis lumut maupun jamur mudah dijumpai di Hutan Lindung Lampeong-Gunung Lumut.

Kekayaan hayati kawasan hutan lindung yang merupakan bagian dari Pegunungan Muller memang ini memang diakui oleh LIPI.

Sulitnya medan menuju puncak Gunung Lumut ini pula yang dipercaya membuat vegetasi di puncak gunung masih terjaga dengan baik.

Posisi gunung yang berada paling hulu dan tertinggi jelas membuat kawasan ini sangat penting sebagai daerah penyangga bencana banjir bagi 27 desa di bagian hilir di tepian Daerah Aliran Sungai (DAS) Teweh, 16 desa di tepian DAS Montallat, dan puluhan desa di tepian DAS Ayoh wilayah Kabupaten Barito Selatan.

Kehilangan kawasan Hutan Lindung Lampeong-Gunung Lumut ini jelas bencana bagi puluhan ribu jiwa, bahkan hingga ratusan ribu orang.

Perlindungan kawasan ini dari aksi pembalakan liar dan pertambangan menjadi sangat penting dilakukan dengan segera sehingga tidak heran jika masyarakat sekitar sendiri yang mengajukan kawasan ini menjadi taman nasional.

Pewarta: Virna P. Setyorini
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2013