Bantul (ANTARA) - Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Al Makin menyebut bahwa meminta maaf kepada sesama dalam setiap waktu termasuk pada momen Idul Fitri merupakan perbuatan atau sikap yang menunjukkan kekuatan, bukan kelemahan.

"Meminta maaf menunjukkan kekuatan, bukan kelemahan. Meminta maaf perlu nyali, keberanian, kejantanan, dan menahan malu. Meminta maaf bukan orang lemah, tetapi orang kuat," kata Rektor dalam keterangan pada Acara Syawalan Lintas Iman di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kamis.

Sedangkan memaafkan kepada sesama, menurut dia, adalah tanda kebahagiaan. Sehingga, orang yang kuat adalah yang minta maaf, sementara orang bahagia adalah yang memaafkan.

"Tidak perlu dendam, saling menyerang, saling mengancam, saling menjatuhkan. Itu tanda kelemahan," katanya.

Rektor juga mengatakan, balasan dari setiap keburukan adalah keburukan, barangsiapa memaafkan dan berbaik hati maka pahalanya ada pada Tuhan. Tuhan tidak menyukai orang yang melebihi batas, karena itu memaafkan adalah kekuatan.

"Jadi damai, lewat memaafkan dan minta maaf sangat penting. Idul Fitri mempunyai makna ini," kata Rektor Al Makin.

Lebih lanjut Rektor mengatakan, manusia itu hakikatnya satu keluarga, satu saudara yang akan cenderung saling tolong menolong demi keberlangsungan hidup. Manusia pasti saling menolong dan pasti akan membuat orang lain nyaman dan keluar dari kesulitan.

"Itulah manusia satu dan lainnya. Memaafkan berguna untuk sehat jasmani, sehat rohani, sehat organisasi, sehat kampus, sehat bangsa. Memaafkan akan sehat secara badan karena ringan. Sehat secara spiritual karena tidak ada beban pikiran," katanya.

Rektor Universitas Sanata Dharma Romo Albertus Bagus Laksana mewakili Katolik mengatakan, mensyukuri kebersamaan, menciptakan gelombang kebaikan, saling mengunjungi, saling menghormati dapat bercermin diri, menata hati untuk peduli pada sesama.

"Saudara kita adalah cermin kita, pahami satu sama lain. Melangkah bersama adalah undangan Tuhan. Nerima orang lain dengan lapang adalah cara untuk mendapatkan nikmat kebersamaan dan perdamaian," katanya.

Sementara itu, Dr. Sulaiman mewakili Budha mengatakan, untuk mendapatkan pencerahan memerlukan kesabaran. Semakin orang tidak sabar untuk mendapatkan pencerahan, maka akan semakin lama orang mendapatkan pencerahan.

"Muslim berpuasa Ramadhan dengan kesabaran itulah pencerahan yang didapat umat Muslim. Kami bersyukur dapat menghadiri hari kemenangan umat Muslim. Tak ada kebahagiaan tertinggi yang sebanding dengan kedamaian dalam kebersamaan kali ini," katanya.

Pendeta Fendi Susanto mewakili Kristen mengatakan, dalam konteks agamanya Sunan Kalijaga adalah pribadi yang diyakini Sunan Tanah Jawa yang memiliki kearifan lokal, mengajarkan keislaman melalui budaya, seni dan makanan yang difilosofikan.

"Melalui filosofi Sunan Kalijaga ini semua agama melakukannya. Dalam keluarga Jawa yang berbeda beda agama bisa bersatu melalui filosofi makanan Jawa," katanya.

Prof. H. Machasin mewakili Islam mengatakan, memutuskan memaafkan hari ini, bukan karena permintaan maaf, namun karena jiwa yang memerlukan perdamaian.

"Jadi sikap memaafkan pertimbangannya adalah karena jiwa yang ingin merdeka, tidak terpenjara karena mengingat perbuatan jahat orang lain," katanya.

Baca juga: Khatib di Sabang: Jadikan Idul Fitri saling maafkan dan jauhi sombong

Baca juga: Presiden Jokowi berharap Idul Fitri momentum saling memaafkan


Pewarta: Hery Sidik
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024