Kota Bandung (ANTARA) - Di jantung Kota Bandung, Jawa Barat, berdiri kokoh sebuah bangunan bersejarah bernama Gedung Merdeka. Gedung ini lebih dari sekadar bangunan tua, tapi gedung ini menjadi saksi bisu momen penting pergerakan kemerdekaan negara-negara Asia-Afrika.

Gedung Merdeka bukan hanya sebuah bangunan bersejarah, tetapi juga simbol semangat kebangkitan untuk mempersatukan bangsa-bangsa di Tanah Pasundan.

Pada 18 April tahun 1955, Gedung Merdeka menjelma menjadi tuan rumah Konferensi Asia-Afrika (KAA), sebuah momen yang menjadi tonggak penting dalam sejarah perjuangan dari 29 negara dalam melawan kolonialisme dan memperjuangkan kemerdekaan.

Di sinilah, para pemimpin negara dari dua benua ini bersatu padu untuk melawan penindasan dan membangun masa depan yang lebih cerah bagi rakyatnya. Selama satu minggu penuh, 18 hingga 24 April 1955, Gedung Merdeka menjadi pusat kegiatan diplomasi dan pertukaran ide.

Gedung Merdeka menjadi sebuah tempat dalam melahirkan sejumlah deklarasi penting, termasuk Deklarasi Dasa Sila Bandung, yang menjadi semangat bagi bangsa Asia dan Afrika untuk memperjuangkan kemerdekaan.

Ruangan yang digunakan saat sidang pembukaan maupun penutupan Konferensi Asia-Afrika pada tanggal 18 dan 24 April 1955 di Gedung Merdeka, Kota Bandung. (ANTARA/Rubby Jovan)
 

Gedung Merdeka dari masa ke masa

Gedung Merdeka yang terletak di Jalan Asia-Afrika Bandung ini, pada tahun 1895, hanya berupa bangunan sederhana.  

Bangunan yang mempunyai luas tanah 8.710 meter persegi itu, menjadi tempat pertemuan "Societeit Concordia", sebuah perkumpulan beranggotakan orang-orang Eropa, terutama Belanda yang berdomisili di Kota Bandung dan sekitarnya.

Gedung Merdeka di sisi timur pada tahun 1895. (ANTARA/Rubby Jovan)
Pada 1921, bangunan yang diberi nama sama dengan nama perkumpulannya tersebut, yaitu Concordia, dirombak menjadi gedung pertemuan "super club" yang paling mewah, lengkap, eksklusif, dan modern di Nusantara oleh perancang C.P. Wolff Schoemaker dengan gaya Art Deco.

Pada tahun 1940, dilakukan pembenahan pada gedung tersebut agar lebih menarik yaitu dengan cara merenovasi bagian sayap kiri bangunan oleh perancang A.F. Aalbers dengan gaya arsitektur International Style. Fungsi gedung ini adalah sebagai tempat rekreasi.

Gedung Concordia sebelum diberi nama Gedung Merdeka ini dirombak oleh C.P. Wolff Schoemaker pada tahun 1921. (ANTARA/Rubby Jovan)
 

Pada masa pendudukan Jepang, bangunan utama gedung ini berganti nama menjadi Dai Toa Kaikan yang digunakan sebagai pusat kebudayaan. Sedangkan bangunan sayap kiri gedung diberi nama Yamato yang berfungsi sebagai tempat minum-minum, yang kemudian terbakar pada tahun 1944.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, gedung ini dijadikan markas pemuda Indonesia menghadapi tentara Jepang dan selanjutnya menjadi tempat kegiatan Pemerintah Kota Bandung.

Gedung Concordia yang kembali dirombak oleh A.F. Aalbers pada tahun 1940. (ANTARA/Rubby Jovan)
Menjelang Konferensi Asia-Afrika, gedung itu mengalami perbaikan dan diubah namanya oleh Presiden Indonesia Soekarno, menjadi Gedung Merdeka pada 7 April 1955 atau 11 hari sebelum dimulainya KAA yang saat itu diikuti para delegasi dari lima negara penggagas dan 24 negara lain dari kedua benua itu.
 

Gedung Concordia resmi berganti nama menjadi Gedung Merdeka menjelang konferensi Asia-Afrika oleh Presiden Soekarno pada 7 April 1955. (ANTARA/Rubby Jovan)
 

Jadi bagian sejarah bangsa

Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri Ceylon, Sir John Kotelawala, mengundang para Perdana Menteri dari Birma, India, Indonesia dan Pakistan dengan maksud mengadakan suatu pertemuan di negaranya.

Pada kesempatan itu, Presiden Indonesia Soekarno, menekankan kepada Perdana Menteri Indonesia, Ali Sastroamidjojo untuk menyampaikan ide diadakannya Konferensi Asia-Afrika saat pertemuan tersebut.

Soekarno menyatakan bahwa hal ini merupakan cita-cita bersama selama hampir 30 tahun untuk membangun solidaritas bangsa Asia-Afrika untuk memulai pergerakan nasional melawan penjajahan.

Satu tahun kemudian, Presiden Soekarno berhasil menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah dalam konferensi tersebut dan memilih Kota Bandung sebagai tempat penyelenggara pertemuan dari 29 delegasi.

Pelestarian Dokumentasi Diplomasi Publik (PDDP) Museum KAA , Christoforus H. B. Katon, menyampaikan pelaksanaan KAA di Gedung Merdeka menjadi simbol arena persatuan bangsa-bangsa yang sedang berjuang untuk bebas dari cengkeraman kolonialisme.

Para pemimpin negara-negara Asia dan Afrika berkumpul untuk membahas isu-isu krusial seperti kemerdekaan, penghapusan kolonialisme, dan pembangunan ekonomi.

“Masih banyak negara di dua benua ini berada di bawah penjajahan. Peserta Konferensi Asia-Afrika ada 29 negara. 23 dari Asia dan hanya ada enam negara yang merdeka di Afrika pada waktu itu,” kata Katon saat ditemui di Gedung Merdeka, Bandung, pada 17 April 2024.

Konferensi Asia-Afrika di Bandung ini telah membakar semangat untuk meraih masa depan cerah bagi para pejuang bangsa-bangsa yang pada masa itu tengah memperjuangkan kemerdekaan tanah air mereka.

“Sekitar 10 tahun setelah konferensi Asia-Afrika, dampaknya sangat luar biasa. Sangat besar menginspirasi bangsa-bangsa lain untuk adanya pergerakan-pergerakan nasional yang memerdekakan.Hasilnya adalah terdapat 36 negara yang merdeka di negara Asia dan Afrika.

Katon menyampaikan dirinya pernah menjadi pemandu salah seorang Managing Director of International Finance Corporation (IFC) Makhtar Diop berwarganegaraan Senegal yang mengungkapkan cerita mengharukan saat berkunjung ke Gedung Merdeka.

Dalam kunjungannya, warga negara asal Senegal itu merasa sangat tergerak untuk mengunjungi Kota Bandung karena ayahnya adalah seorang pejuang kemerdekaan Senegal yang selalu bercerita tentang pentingnya Gedung Merdeka dalam kemerdekaan negaranya.

“Sebelum bapak saya meninggal, dia pernah bilang, one day datanglah ke Bandung. Di situ ada sebuah gedung tempat pelaksanaan Konferensi Asia-Afrika. Dari gedung itulah muncul kemerdekaan Senegal,” kata Katon.

Semangat KAA yang lahir di Gedung Merdeka terus hidup hingga saat ini. Gedung ini telah menjadi tuan rumah berbagai konferensi internasional lainnya, dan terus menjadi simbol penting dalam melawan penjajahan hingga pembangunan ekonomi bagi bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.

 

Menjelajahi sejarah KAA

Di  sisi timur Gedung Merdeka, terdapat sebuah museum yang menjadi saksi bisu momen bersejarah pelaksanaan KAA. Museum ini adalah penjaga jejak sejarah persatuan bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.

Gagasan pendirian Museum KAA diwujudkan oleh Joop Ave, sebagai Ketua Harian Panitia Peringatan 25 Tahun Konferensi Asia-Afrika yang kemudian diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 24 April 1980.

Memasuki Museum KAA, pengunjung bagaikan diajak kembali ke masa 70 tahun silam. Di ruang Konferensi Utama, meja dan kursi para pemimpin negara masih tertata rapi, seakan-akan konferensi baru saja usai.

Diorama Presiden Soekarno saat membaca pidato pembukaan KAA dihadapan delegasi di Gedung Merdeka pada 18 April 1955. (ANTARA/Rubby Jovan)
Kepala Museum KAA, Noviasari Rustam, menjelaskan bahwa museum ini terdapat banyak koleksi bersejarah yang menjadi bukti nyata perjuangan diplomasi Indonesia yang turut mendorong perjuangan bangsa-bangsa Asia dan Afrika dalam mencapai kemerdekaan.

Foto-foto bersejarah dan replika bendera negara-negara peserta KAA menghiasi gedung ini, membawa pengunjung dalam imajinasi ke masa penuh semangat perjuangan.

Di dalam museum terdapat panel-panel yang menjelaskan alur sejarah pergerakan pelaksanaan konferensi KAA serta dampaknya bagi bangsa Asia dan Afrika, termasuk tokoh-tokoh penting yang terlibat selama KAA, maupun Dasa Sila Bandung sebagai hasil KAA.

Museum KAA dibuka secara gratis bagi masyarakat umum pada hari Selasa, Kamis, Sabtu, dan Minggu dengan jam operasional mulai pukul 09.00 hingga 16.00 WIB.

Meskipun konferensi tersebut telah menjadi bagian dari masa lalu, tapi jejak sejarah dan kisah semangat dari para pejuang bangsa Asia - Afrika masih tersimpan utuh di dalam museum ini. Gedung Merdeka dan Museum KAA  akan tetap terjaga dan dihormati oleh generasi yang akan datang.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024