Memang ada anomali, bahwa partai politik yang memenangi pemilu legislatif, belum tentu calon presiden yang diusungnya menang juga dalam pilpres. Tidak bisa disamakan,"
Semarang (ANTARA News) - Pengamat politik dari Universitas Diponegoro Semarang Teguh Yuwono menilai pola dukungan rakyat dalam pemilu legislatif berbeda dengan pemilihan presiden dan wakil presiden.

"Memang ada anomali, bahwa partai politik yang memenangi pemilu legislatif, belum tentu calon presiden yang diusungnya menang juga dalam pilpres. Tidak bisa disamakan," katanya di Semarang, Sabtu.

Menurut pengajar FISIP Undip itu, masyarakat sebagai pemilih mungkin menjadikan loyalitas atas ideologi politik sebagai pertimbangan dalam memilih di pemilu legislatif, tetapi tidak demikian di pilpres.

Ia mengungkapkan kecenderungan masyarakat memilih dalam pilpres lebih karena faktor ketokohan, bukan parpol, sebagaimana pengalaman yang terjadi dalam beberapa kali pelaksanaan pemilu setelah era reformasi.

"Ambil contoh Partai Golkar. Setelah Orde Baru, kan belum pernah menang dalam pilpres meski pernah menjadi pemenang pemilu legislatif (Pemilu 2004, red.). Kenapa? Ya, karena yang dipilih figur," katanya.

Kemenangan Jusuf Kalla yang diusung sebagai calon wakil presiden pada Pilpres 2004, kata dia, juga bukan berkat Partai Golkar, tetapi Partai Demokrat yang mengusungnya mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono.

Teguh mengingatkan bahwa anomali persepsi masyarakat dalam menentukan sikap di pemilu legislatif dan pilpres harus dijadikan landasan bagi parpol dalam menyusun strategi pemenangan kedua pesta demokrasi.

"Sekarang ini, PDI Perjuangan memang diuntungkan karena ada Joko Widodo (Gubernur DKI Jakarta, red.) sebagai kadernya. Elektabilitas Jokowi memang tinggi dibanding tokoh-tokoh lain yang muncul," katanya.

Ia mengingatkan bahwa tidak semua parpol sekarang ini kebetulan memiliki figur yang bisa diandalkan untuk maju dalam pilpres, karena masih kurang populer atau memang karena sudah habis masa ketokohannya.

"Saya melihat sekarang ini yang paling berpeluang, di antaranya ada Jokowi, Prabowo Subianto, Mahfud MD. Jusuf Kalla juga masih cukup berpeluang (maju lagi, red.) meski eranya sebenarnya sudah habis," katanya.

Oleh karena itu, kata dia, parpol-parpol besar yang memang belum memiliki tokoh kuat yang bisa diadu dalam Pilpres 2014 sebaiknya melakukan konsolidasi dengan parpol lain yang kebetulan punya figur kuat.

"Tidak sepenuhnya berkorelasi antara pemilu legislatif dengan pilpres. Strategi pemenangannya harus disiapkan berbeda oleh parpol. Ya, semuanya tergantung parpol dalam menyiapkan strategi," kata Teguh. (*)

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2013