Bandung (ANTARA News) - Deputi Ilmu Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Dr Jan Sopaheluwakan, mengemukakan bahwa pembuatan Tsunami Warning System sampai saat ini baru mencapai 40 hingga 45 % yang menempatkan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) sebagai koordinator. "Saat ini sedang disiapkan peralatan teknologi untuk mendeteksi gempa dan tsunami, dan pemerintah sudah mencanangkan bahwa peralatan tersebut bisa beroperasi penuh pada tahun 2008 mendatang," katanya, usai mengikuti acara Ulang Tahun ke-39 LIPI di Bandung, Rabu. Menurut dia, sistem peringatan tsunami (Tsunami Warning System) itu memiliki dua komponen, yakni alat deteksi dan menyiagakan masyarakat, sehingga bila BMG dan pemerintah sudah bisa memberikan peringatan kejadian tsunami dalam tempo lima menit, tetapimasyarakatnya belum siap, maka fungsi sistem tersebut percuma saja. "Ini cukup berat, karena menyangkut pendidikan masyarakat Indonesia dan cara berpikir pejabat dan politisi," tegasnya. Ia mengatakan, diperlukan adanya serangkaian pelatihan dan petunjuk praktis mengenai tanda-tanda tsunami kepada masyarakat, serta menyiagakan masyarakat dengan cara memberitahukan bagaimana tanda-tanda sebelum tsunami sekaligus tindakan apa yang harus mereka lakukan. Sopaheluwakan menilai, untuk Indonesia menyiagakan kepedulian masyarakat lebih penting dibandingkan hanya membangun Tsunami Warning System, karena tsunami di Indonesia rata-rata dapat terdeteksi dalam tempo lima hingga 40 menit. Ia pun mengatakan, LIPI juga memberikan kontribusi untuk Tsunami Warning System, yakni memberikan dasar-dasar ilmiah untuk medesain arsitektur dan konfigurasi dari teknologinya, seperti di mana akan diletakannya alat pendeteksi. Selain itu, LIPI menyiagakan masyarakat melalui pendidikan publik, karena pemerintah daerah di lokasi rawan bencana masih banyak yang kurang waspada, sehingga perlu mendorong partisipasi masyarakat untuk mengadaan pelatihan-pelatihan, tambahnya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006