Jakarta (ANTARA News) - Pengamat intelijen, AC Manullang, meragukan informasi Kepala Unit Teknologi Informasi dan Kejahatan Dunia Maya Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI (Polri), Kombes Petrus Reinhard Golose, yang menyebutkan terpidana mati Bom Bali 2002, Imam Samudra, ikut merancang Bom Bali 2005. Di era perang melawan terorisme dan perang intelijen saat ini, aparat negara, seperti kepolisian, bisa saja menggunakan apa yang disebut grey propaganda (propaganda abu-abu) dengan melansir serangkaian pernyataan yang seolah-olah benar, padahal tidak pernah ada faktanya, katanya di Jakarta, Kamis. Propaganda abu-abu itu, menurut dia, termasuk pernyataan bahwa "Imam Samudra Mengendalikan Pengeboman dari Penjara" berkaitan dengan ledakan bom di Bali pada 2005. Imam Samudra adalah salah satu dari tiga terpidana mati dalam kasus ledakan bom Bali pada 2002. "Sekarang dunia ini dan kita seluruhnya di Indonesia perlu dicerdaskan. Jangan asal ngomong bangsa ini. Jangan membuat sesuatu hal seolah-olah benar terjadi. Artinya, dari segi intelijen, saya perlu tegaskan bahwa kita sekarang ini di era perang melawan terorisme dan perang intelijen," katanya. Dalam konteks tersebut, ia menegaskan, polisi bisa saja menggunakan perang intelijen yang tidak pernah diketahui oleh masyarakat di Indonesia. "Perang intelijen itu sama dengan terorisme, dan terorisme itu sarat dengan perang intelijen. Dalam hal ini telah dilansir grey propaganda secara efektif di Indonesia, seperti pernyataan-pernyataan yang seperti benar adanya, tetapi tidak pernah ada kenyataannya," katanya. Di era perang melawan terorisme dan perang intelijen, Manullang yang pernah terlibat di Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) mengungkapkan, sudah lama berlangsung apa yang dikenal dengan operasi desepsi, di mana pihak tertentu mendekati sasaran-sasarannya untuk melumpuhkan sejumlahsasaran tersebut. Ia pun menilai, masyarakat sudah saatnya dicerdaskan, agar mereka pun mengenal intelligence devices (alat-alat intelijen) dan hal-hal umum yang dikenal dalam dunia intelijen, seperti apa yang disebut Strategic Inteligence (SIG INT), Electronic Intelligence (EL INT), Human Intelligence (HU INT), Maritime Intelligence (MARE INT), Air Intelligence (AIR INT), dan GSR, REMS, RPV, UAD, serta AWAC. "Semua perangkat ini sangat efektif digunakan oleh intelijen asing di Indonesia. Hanya saja diperkirakan kepolisian kita belum memiliki semua perangkat ini secara lengkap. Jadi, pemberitaan mengenai Imam Samudera mengendalikan pemboman Bali II bukan tidak mungkin sesuatu yang dilansir untuk mengganggu stabilitas keamanan negeri kita," katanya. Mengenai operasi intelijen asing di Indonesia, ia mengatakan, mereka justru menggunakan banyak orang Indonesia dengan maksud mengobok-obok Islam, seperti mengaitkan Imam Samudera dengan Bom Bali 2005. "Intelijen asing sudah berhasil menjadikan isu Islam identik dengan radikalisme dan cenderung menjadikannya musuh dunia," demikian penegasan Manullang. Kombes Petrus Reinhard Golose pada Rabu (23/8), selayaknya dikutip beberapa media massa nasional, mengemukakan bahwa Imam Samudra ikut mengatur pencarian dana untuk bom Bali 2005 dengan melakukan percakapan tertulis ber-Internet (chatting) memanfaatkan komputer jinjing (notebook/laptop) yang diselundupkan ke dalam selnya di LP Kerobokan, Denpasar, Bali, tiga bulan sebelum ledakan bom Bali terjadi pada Oktober 2005. Sekalipun demikian, seseorang di Indonesia pada saat itu sudah dapat memanfaatkan fasilitas chatting melalui telepon seluler (ponsel), atau tanpa menggunakan laptop. "Dengan sarana chatting itu, Imam Samudra mengatur pencarian dana untuk bom Bali II," ujar Golose, seperti dikutip Koran Tempo edisi Kamis (24/8). (*) (Dokumen Foto: Imam Samudra alias Abdul Azis)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006