proyeksi tiga kali pemangkasan saat ini sudah mulai berubah menjadi dua kali saja
Jakarta (ANTARA) - Senior Portfolio Manager Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Samuel Kesuma menilai, terjadi pergeseran kecenderungan pelaku pasar dalam mengubah besaran dan frekuensi pemangkasan suku bunga acuan The Fed tahun ini.

Hal itu utamanya disebabkan oleh berbagai faktor eksternal seperti masih kuatnya data ekonomi AS, komentar pejabat bank sentral AS (The Fed), serta meningkatnya tensi geopolitik di Timur Tengah.

"Estimasi pemangkasan pertama di akhir kuartal kedua berubah ke kuartal tiga, dan proyeksi tiga kali pemangkasan saat ini sudah mulai berubah menjadi dua kali saja," kata Samuel dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa.

Samuel menjelaskan, sebelumnya Ketua The Fed Jerome Powell sempat memproyeksikan suku bunga acuan atau Fed Funds Rate (FFR) dapat turun tiga kali tahun ini.

Namun di pertengahan April 2024, Powell menyatakan data inflasi dan ketenagakerjaan terkini membuat kebijakan restriktif masih mungkin harus dipertahankan untuk sementara waktu.

Pernyataan yang terlihat kontradiktif tersebut sebenarnya tetap menunjukkan konsistensi, bahwa The Fed sangat berbasis pada data (data driven) dalam pengambilan keputusan penurunan suku bunga.

"Yang perlu kita cermati lebih dalam, apakah inflasi AS yang meningkat lagi ini adalah bumpy path atau tren struktural," jelas Samuel.

Lebih lanjut, Samuel menjelaskan bahwa sebenarnya ada beberapa faktor yang berpotensi menopang terjadinya pertumbuhan ekonomi dengan inflasi yang terjaga.

Beberapa di antaranya yaitu terlihatnya normalisasi sisi pasok pada perekonomian, yang dapat meningkatkan ketersediaan barang, dan peningkatan partisipasi tenaga kerja yang dapat memperbaiki ketersediaan jasa.

"Kombinasi kedua faktor itu dapat meredam kenaikan inflasi lebih lanjut, dan kita masih dapat berharap membandelnya data inflasi akhir-akhir ini memang adalah volatilitas data jangka pendek," tuturnya.

Di sisi lain, eskalasi konflik geopolitik Timur Tengah yang dipantik oleh saling serang antara Israel dan Iran tentunya melemahkan sentimen terhadap aset berisiko dan meningkatkan minat terhadap aset safe haven seperti emas dan mata uang dolar AS.

"Tidak bisa dimungkiri, ketidakpastian pasar akibat tensi geopolitik yang tiba-tiba meningkat masih mungkin terjadi," tutupnya.

Baca juga: Presdir BCA: Bunga The Fed kemungkinan tidak turun dalam waktu dekat
Baca juga: Ekonom: Ada peluang BI naikkan suku bunga demi stabilitas rupiah
Baca juga: Rupiah melemah dipengaruhi ekspektasi penurunan suku bunga The Fed

Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2024