Bandung (ANTARA News) - Ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih menilai fundamental mata uang rupiah masih lemah antara lain karena masih tingginya permintaan valuta asing untuk pembayaran utang luar negeri walaupun indikator utang masih aman.

"Kondisi ini membuat pergerakan rupiah akan sangat tergantung pada pengelolaan cadangan devisa," kata Lana dalam lokakarya wartawan perbankan di Bandung, Sabtu.

Ia menyebutkan per September 2013, posisi utang luar negeri tercatat 259,9 miliar dolar AS atau naik dari posisi kuartal sebelumnya 257,3 miliar dolar AS. Jumlah itu terdiri dari utang luar negeri pemerintah 113,8 miliar dolar AS AS atau 43,7 persen dari total utang luar negeri.

Sementara utang luar negeri swasta sebesar 136,7 miliar dolar AS atau 52,6 persen dari total utang luar negeri dan utang luar negeri perbankan 22,4 miliar dolar AS.

Lana menyebutkan permintaan terhadap valuta asing masih akan cukup tinggi untuk pembayaran utang tersebut. Pembayaran utang pemerintah dan swasta dari Januari hingga September 2014 tercatat 25,7 miliar dolar AS atau 2,9 miliar dolar AS per bulan.

"Selain itu terdapat pembayaran aset yang mencapai 21 miliar dolar AS per tahun serta ada kemungkinan outflow karena rencana tapering the Fed," kata Lana.

Ia menjelaskan tekanan terhadap nilai tukar rupiah berasal dari dalam negeri dan eksternal. Dari dalam negeri antara lain permintaan dolar AS dalam jumlah besar, sentimen negatif karena Indonesia menghadapi defisit kembar, dan pasar valuta asing yang dangkal.

Ia menyebutkan nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sejak akhir 2011 yang ketika itu berada di posisi sekitar Rp9.000 per dolar AS menjadi saat ini sekitar Rp12.000 per dolar AS.

Lana mengatakan langkah Bank Indonesia (BI) untuk menciptakan stabilitas nilai tukar rupiah adalah membuat bank sentral memiliki reputasi baik dan kebijakan secara konsisten.

Pewarta: Agus Salim
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2013