Gaza, Palestina (ANTARA) - Nihad Badreia, seorang guru Palestina yang saat ini mengungsi ke Rafah, kota paling selatan di Jalur Gaza, mendirikan "sekolah tenda" untuk sekitar 600 anak usia sekolah yang tinggal di sebuah kamp pengungsi.

Konflik Palestina-Israel saat ini membuat para pelajar tidak dapat melanjutkan pendidikan mereka selama hampir tujuh bulan.

"Sangat sulit bagi para pelajar kami untuk melanjutkan pendidikan karena konflik. Mereka juga tidak dapat bertemu dengan teman sekelasnya, yang akan berdampak negatif pada kondisi psikologis mereka," kata Badreia.
 
  Badreia, yang saat ini tinggal di sebuah pengungsian yang menampung lebih dari 2.000 anak, kerap melihat remaja bermain-main di jalanan tanpa melakukan aktivitas positif yang dapat mengembangkan karakter mereka. Inilah alasan dia memutuskan, bersama dengan sekitar 20 guru pengungsi lainnya di kamp pengungsi tersebut, untuk mendirikan sekolah sendiri dengan tenda sebagai ruang kelasnya.


Yang lebih parah, mereka kadang terlibat dalam pertengkaran atau bahkan kekerasan, sebagian karena tekanan psikologis yang disebabkan oleh paparan perang yang berkepanjangan, imbuhnya.

Karena konflik mematikan tersebut belum terlihat ada tanda-tanda akan berakhir, anak-anak "jelas akan menderita akibat" krisis yang berkepanjangan ini, kata Badreia.
 
   Inilah alasan dia memutuskan, bersama dengan sekitar 20 guru pengungsi lainnya di kamp pengungsi tersebut, untuk mendirikan sekolah sendiri dengan tenda sebagai ruang kelasnya.   Abu Hajjaj dan al-Amasi termasuk di antara 300 pelajar perempuan yang bersekolah tiga hari dalam sepekan, sedangkan 300 pelajar laki-laki lainnya bersekolah selama tiga hari lainnya, menurut Badreiah.


Matematika, Bahasa Arab, Sains, dan Al-Quran termasuk di antara kurikulum yang diajarkan.

Setelah meluncurkan kampanye penggalangan dana dan dengan bantuan Kementerian Pendidikan Palestina, mereka berhasil melanjutkan kegiatan sekolah untuk para pelajar.

"Meskipun peralatannya terbatas, saya sangat senang bisa kembali ke ruang kelas," kata Neama Abu Hajjaj, seorang pelajar Palestina di kelas tujuh sekolah tersebut, kepada Xinhua.

"Sungguh luar biasa punyaguru baru, tetapi saya tidak tahu apakah guru saya sebelumnya masih hidup atau tidak," kata Abu Hajjaj.

Ia mengungkapkan harapannya untuk kembali ke rumah, lingkungan, sekolah, dan kehidupan normal secepatnya.

Sampai saat itu tiba, katanya, "Saya akan menikmati kegiatan pendidikan saya saat ini."

Kebahagiaan yang sama juga dirasakan Shahd al-Amasi, pelajar asal Jalur Gaza.

"Saya sangat senang bisa kembali ke sekolah dan menulis di buku catatan saya lagi. Saya merindukan pelajaran, teman, dan guru."
 
   Abu Hajjaj dan al-Amasi termasuk di antara 300 pelajar perempuan yang bersekolah tiga hari dalam sepekan, sedangkan 300 pelajar laki-laki lainnya bersekolah selama tiga hari lainnya, menurut Badreiah


"Meski saat ini belum mendapatkan sertifikasi apa pun, tetapi para pelajar akan tetap belajar hingga ada solusi permasalahan pendidikan di Gaza," tuturnya.

Israel melancarkan serangan skala besar terhadap Hamas di Gaza untuk membalas serangan kejutan Hamas melalui perbatasan selatan Israel pada 7 Oktober 2023.

Serbuan Hamas itu menewaskan sekitar 1.200 orang dan lebih dari 200 orang disandera.

Serangan Israel yang sedang berlangsung di Gaza saat ini telah mengakibatkan banyak korban dan kerusakan.

Jumlah warga Palestina yang tewas bertambah menjadi lebih dari 34.000 orang, menurut otoritas kesehatan Gaza, yang mencatat bahwa dari total kematian tersebut terdapat 3.700 pelajar dan 200 guru.

Sementara itu, otoritas pendidikan Gaza mengatakan sedikitnya 352 sekolah lokal rusak akibat serangan Israel, sementara sisanya diubah menjadi tempat penampungan bagi para pengungsi. 

Pewarta: Xinhua
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2024