...kebebasan beragama yang disampaikan guru memiliki dampak signifikan dalam membentuk sikap toleransi dan pemahaman yang inklusif di kalangan siswa,
Jakarta (ANTARA) - Masyarakat baru-baru ini digemparkan dengan peristiwa kekerasan yang menimpa sejumlah mahasiswa Universitas Pamulang ketika sedang melakukan ibadah di sebuah rumah di Kelurahan Babakan, Tangerang Selatan.
 
Dalam video yang beredar di dunia maya, tampak para mahasiswa tersebut ketakutan dikerumuni massa. Bahkan, beberapa mahasiswa terkena sabetan senjata tajam.
 
Seorang mahasiswi mengaku ada pengurus RT setempat turut melakukan persekusi. Pada akhirnya, Polres Metro Tangerang Selatan menetapkan empat orang sebagai tersangka, yaitu D (53), I (30), S (36), dan A (26).
 
Kapolres Metro Tangerang Selatan AKBP Ibnu Bagus Santoso mengungkapkan tersangka D mendatangi rumah tempat para mahasiswa itu berkumpul sambil berteriak-teriak agar membubarkan diri. Kemudian, datang tersangka lainnya, yaitu I, S, dan A sambil membawa senjata tajam untuk mengancam para jemaat yang sedang beribadah.
 
Kejadian seperti itu menimbulkan keprihatinan dan rasa was-was bagi masyarakat. Bagaimana tidak? Hak dasar tiap warga negara untuk beribadah sesuai keyakinan masing-masing, dirampas begitu saja oleh warga negara lainnya.
 
Padahal, Indonesia telah memiliki dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama bagi tiap warga negara. Keberagaman antarsesama juga sudah menjadi kehidupan sehari-hari.
 
Lalu, seperti apa cara negara untuk melindungi hak kebebasan beragama? Salah satunya adalah melalui pahlawan tanpa tanda jasa atau guru. Pendidikan toleransi sejak dini yang diajarkan oleh guru menjadi tabungan penting untuk perdamaian pada masa depan.
 
 
Dasar hukum kebebasan beragama 
 
Sebelum membahas lebih dalam soal peran guru dalam moderasi beragama, ada baiknya mengenal lebih dahulu hak kebebasan beragama yang dimiliki oleh manusia.
 
Secara universal, hak tersebut tercantum dalam Pasal 18 Piagam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya.
 
Kemudian, di Indonesia sendiri, hak kebebasan beragama diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
 
Dalam pasal 28 E ayat 1 UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya. Lalu, pada ayat 2 disebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
 
Untuk lebih tegasnya, dalam Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 disebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
 
Dari perundang-undangan tersebut, dapat dipastikan bahwa negara telah membentengi setiap rakyatnya agar bisa beribadah dengan bebas dan sesuai kepercayaan masing-masing. Yang tersisa ialah bagaimana manusia itu sendiri bisa menghormati sesama berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan.
 
 
Peran negara
 
Pemerintah sebagai penyelenggara negara juga telah menerapkan berbagai langkah untuk menjaga hak kebebasan beragama selalu termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
 
Salah satunya melalui lokakarya bagi para guru. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI bermitra dengan Institut Leimena, sebuah lembaga nonprofit yang berfokus pada program untuk keberagaman dan kesetaraan dalam masyarakat, dalam menggelar program Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB).
 
Direktur Jenderal (Dirjen) HAM Kemenkumham RI, Dhahana Putra, menyebut program itu dilakukan sebagai upaya membangun kesadaran pentingnya toleransi dan kebebasan beragama dengan melakukan diseminasi HAM yang mengedepankan pendekatan martabat manusia.
 
Dalam program tersebut, guru di seluruh Indonesia dari berbagai suku, agama, dan tingkat pendidikan yang diajar, ditanamkan dasar-dasar toleransi antaragama sebagaimana dalam hak sipil dan politik (sipol), salah satu dari dua pilar utama dalam hak asasi manusia.
 
Direktur Kerja Sama HAM, Direktorat Jenderal (Ditjen) HAM Kemenkumham RI Harniati yang menjadi fasilitator dalam program tersebut menyatakan dasar kebebasan beragama yang disampaikan oleh guru memiliki dampak signifikan dalam membentuk sikap toleransi dan pemahaman yang inklusif di kalangan siswa.
 
Terlebih oleh guru agama. Ilmu dengan nilai kebebasan beragama lekat dengan peran mereka karena di tangan merekalah pendidikan agama diajarkan sejak dini. Guru agama harus bisa mengintegrasikan nilai-nilai toleransi dan kebebasan beragama melalui metode pembelajaran secara teori maupun praktis.
 
Hal penting lainnya adalah para guru harus memberikan pengetahuan tentang supremasi hukum dalam kebebasan beragama di Indonesia. Mereka harus mengajarkan bahwa praktik keagamaan di Indonesia selaras dengan hukum dan undang-undang di Indonesia.
 
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) RI Prof. Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin menegaskan beragama di ruang publik Indonesia berarti sama dengan beragama yang tetap memanifestasikan nilai-nilai etnoreligius, namun dalam koridor tertentu yang dibatasi oleh seperangkat supremasi hukum yang mengatur tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
 
Siti yang juga Senior Fellow di Institut Leimena itu mengatakan pula bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan oleh hukum dan undang-undang diambil dari kesamaan nilai-nilai agama, budaya, dan etnis yang ada di Indonesia.
 
Maka dari itu, pendidik pun harus mengerti pula bagaimana pergeseran masyarakat berpengaruh terhadap pandangan pada praktik beragama. Bagaimanapun, zaman terus bergerak maju dan dinamika masyarakat akan terus berubah.
 
Mengambil contoh dari kasus kekerasan yang terjadi di Tangerang tersebut, para pelaku dijerat dengan beberapa pasal dengan ancaman pidana maksimal 10 tahun penjara.
 
Hal itu membuktikan bahwa negara sebagai penjaga rule of law menjunjung tinggi supremasi hukum dalam menjamin kebebasan beragama seseorang.
 
 
Implementasi untuk generasi mendatang
 
Selama tiga hari dua malam pada 3 -- 5 Mei 2024, sebanyak 35 guru dari wilayah Surabaya, Jawa Timur, belajar lebih dalam mengenai agama melalui pendekatan komparatif dalam program LKLB.
 
Para guru yang memiliki latar belakang dan agama yang berbeda-beda itu, disatukan dalam sebuah forum untuk saling berdiskusi mengenai ajaran toleransi dari agama masing-masing.
Para guru yang menjadi peserta lokakarya Literasi Keagamaan Literasi Budaya (LKLB) yang digelar Kemenkumham bersama Institut Leimena menerima penjelasan dari seorang pendeta di Gereja Kristen Abdiel (GKA) Gloria, Surabaya, Sabtu (4/5/2024). ANTARA/Nadia Putri Rahmani
 
Selain dari sesama guru, mereka juga mendapatkan kesempatan langsung untuk berdiskusi dengan pakar agama, seperti ustaz dan pendeta, tentang hal yang mereka ingin ketahui dari agama lain.
 
Ilmu yang mereka dapatkan, bahkan dari agama sendiri, akan semakin menambah wawasan mereka ketika nantinya harus menghadapi murid yang rasa ingin tahunya lebih tinggi.
 
Tidak hanya secara teori, guru juga diajarkan bagaimana menerapkan kebebasan beragama melalui ilmu praktis yang akan dimasukkan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) di sekolah nantinya.
 
Pertama, dimulai dari toleransi. Nilai itu menjadi dasar awal bagi murid tentang bagaimana menghormati orang lain tanpa pandang bulu dan tanpa melihat latar belakangnya.
 
Setelah itu, barulah diajarkan soal moderasi agama. Salah satu guru yang mencontohkan konsep kebebasan beragama dalam praktik micro-teaching lokakarya LKLB tersebut adalah Eka Rohmatun Nazilah, guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dari SMA Muhammadiyah 1 Gresik.
 
Eka menggunakan ilustrasi konflik pembangunan masjid antara dua organisasi keagamaan dalam mengajarkan bahwa penyelesaian awal kasus tersebut adalah dengan menghormati keyakinan masing-masing.
 
Selain soal toleransi, ia juga menekankan pentingnya supremasi hukum dengan mengatakan bahwa contoh konflik tersebut bisa diselesaikan dengan meminta bantuan hukum melalui peraturan daerah (perda).
 
Dengan begitu, murid dapat menganalisis  kembali bagaimana kebebasan beragama dan supremasi hukum itu saling bertautan.
 
Kasus di atas adalah secuil contoh hasil dari pelatihan yang digagas. Guru yang bertindak sebagai agen perubahan dapat menurunkan konsep-konsep tersebut kepada anak didiknya melalui mata pelajaran yang diampu, yang bisa memberikan efek domino bagi generasi-generasi selanjutnya.
 
Apabila nantinya seluruh guru memanifestasikan konsep kebebasan beragama dan supremasi hukum dalam pembelajaran, generasi mendatang bakal lebih paham mengenai hak-hak sipil mereka dalam memeluk agama.

Alhasil, kerukunan dan perdamaian senantiasa  tercipta di Bumi Pertiwi.

Editor: Achmad Zaenal M
 
 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024