Beirut (ANTARA) - Mohammad Salama, yang terpaksa meninggalkan rumahnya di Desa Khiam, Lebanon tenggara, akibat ketegangan yang sedang berlangsung antara Hizbullah dan Israel, kini menyewa sebuah ruangan sempit di Desa Kfar Roummane, Lebanon selatan.

Di sana, dia memajang manisan produksi rumahan keluarganya, yang menjadi sumber penghasilan baru di tengah masa pengungsian.

Salama mengatakan "Tanpa harapan untuk kembali ke rumah dalam waktu dekat, para pengungsi seperti saya tidak punya pilihan lain selain mencari cara untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menghindari kemiskinan."

Eskalasi militer di perbatasan Lebanon-Israel memaksa lebih dari 100.000 orang meninggalkan rumah mereka. Mereka berusaha mencari perlindungan di daerah yang lebih aman, dan banyak dari mereka, seperti Salama, yang terpaksa berjuang untuk mendapatkan sumber penghasilan.
 
    Asap akibat serangan Israel membubung di Kafr Kila, Lebanon, 10 Mei 2024. (Xinhua/Taher Abu Hamdan) 

 Nawal Tahini, seorang ibu rumah tangga yang mengungsi dari Desa Aitaroun, kini bekerja di sebuah toko kosmetik di Tyre. Gaji bulanannya yang minim, sebesar 100 dolar AS (1 dolar AS = Rp16.054), hampir tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarganya yang terdiri dari tujuh orang.

"Kami tidak pernah membayangkan akan mengungsi selama ini dan kehilangan semua penghasilan kami dalam sekejap mata," kata Tahini kepada Xinhua.

Menteri Luar Negeri Lebanon Abdallah Bou Habib baru-baru ini meminta Komite Internasional Palang Merah untuk membantu lebih dari 100.000 pengungsi tersebut.

Kerugian kemanusiaan akibat konflik ini sangat besar. Menurut Menteri Dalam Negeri Lebanon Bassam Mawlawi, serangan Israel menghancurkan sekitar 1.000 rumah dan merusak 8.000 rumah lainnya. Menteri Tenaga Kerja Lebanon Moustafa Bayram memperkirakan 3.000 fasilitas rusak akibat serangan tersebut.
 
   Sebuah bangunan yang hancur akibat serangan Israel terlihat di Kafr Kila, Lebanon, pada 27 April 2024. (Xinhua/Ali Hashisho)

Situasi ini mendorong warga untuk menemukan cara-cara yang inovatif dalam mencari penghasilan. Adel Zreik, yang kehilangan ruang pamer mebelnya di Desa Mays al-Jabal, kini menjual kursi dan meja di atas truk, melintasi wilayah-wilayah di selatan negara itu.

"Ini bukan sesuatu yang ideal," ujar pria berusia 60 tahun itu, "tetapi setidaknya kami menjaga martabat kami."

Hassan Atwi, yang mengungsi dari Desa Houla, mendirikan kios buah dan sayuran darurat di dekat Jembatan Khardali. Serangan udara Israel menghancurkan toko makanannya di kampung halamannya.

"Kami tidak punya pilihan lain selain bekerja daripada meminta-minta," tegasnya.

Keluarga Jalal Mustafa, yang mengungsi ke daerah al-Zahrani, bergantung pada pendapatan pensiunnya yang sedikit untuk melanjutkan hidup. Namun, dengan kebutuhan yang lebih besar daripada sumber daya yang ada, Mustafa harus bekerja di sebuah restoran untuk menghidupi keluarganya.

"Kami tidak bisa menyerah pada kesulitan, kami harus mulai dari nol dan melanjutkan hidup kami," katanya kepada Xinhua.

Ketegangan di sepanjang perbatasan Lebanon-Israel meningkat pada 8 Oktober 2023, menyusul rentetan roket yang diluncurkan oleh kelompok bersenjata Hizbullah Lebanon ke arah Israel sebagai bentuk solidaritas atas serangan Hamas terhadap Israel sehari sebelumnya. Israel kemudian membalas dengan menembakkan artileri berat ke arah wilayah Lebanon tenggara.
 

Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2024