Jakarta (ANTARA News) - PT Bahana TCW Investment Management mengharapkan investor tidak terlalu khawatir terhadap spekulasi pengurangan stimulus keuangan (tapering off) Bank Sentral AS (the Fed).

"Harus juga diketahui bahwa stimulus keuangan tidak hanya dilakukan oleh the Fed. Namun juga dilakukan oleh bank sentral negara maju yang lain seperti Bank Sentral Eropa (ECB), Bank Sentral Inggris dan Bank Sentral Jepang," ujar Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat di Jakarta, Rabu.

Mencermati hal itu, lanjut dia, Indonesia masih kelebihan likuiditas, semestinya pemerintah dan investor tidak perlu terlalu khawatir dengan spekulasi the Fed.

Ia meyakini bahwa the Fed akan tetap mempertahankan stimulusnya (quantitative easing/QE) hingga tahun 2014. Keputusan the Fed menunda "tapering" diduga terkait perlambatan ekonomi AS akibat kemelut fiskalnya yang menyebabkan penutupan kegiatan pemerintah selama beberapa pekan.

"Sikap dan aksi the Fed memang membuat masyarakat dunia sibuk. Semua orang berusaha menduga apa yang akan dilakukan the Fed dan menganalisis dampaknya," katanya.

Mengantisipasi "tapering" the Fed, Budi Hikmat mengatakan bahwa yang terpenting adalah pemerintah Indonesia berusaha meningkatkan kapasitas produktif perekonomian dan memperbaiki defisit neraca transaksi berjalan.

Menurut dia, defisit neraca transaksi berjalan saat ini menjadi persoalan yang memicu volatilitasnya perekonomian nasional. Dengan masih defisit, maka tantangan ekonomi tahun depan semakin berat bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Budi Hikmat memaparkan data perdagangan Indonesia menunjukkan lima kelompok komoditas yang paling memicu defisit yakni mesin transportasi, bahan bakar, kimia, besi baja dan peralatan industri.

"Defisit itu jelas terkait dengan fenomena pertumbuhan kelas menengah yang memiliki daya beli yang tinggi namun tidak didukung oleh ketersediaan produksi di dalam negeri. Defisit perdagangan untuk besi baja mencerminkan booming property yang juga terkait dengan pertumbuhan kelas menengah," kata dia.

Menurut dia, bila kondisi "besar pasak dari pada tiang" itu tidak dapat dikendalikan, maka Indonesia berisiko terjebak dalam pusaran krisis kelompok menengah (middle-income trap).

Budi Hikmat menambahkan, defisit juga diperburuk oleh keputusan politik populis yang mempertahankan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Selain itu, defisit juga dipicu oleh akselerasi repatriasi keuntungan investasi.

"Hal itu bisa mengisyaratkan penurunan re-investment return di Indonesia yang terganjal pada kualitas infrastruktur dasar, sumber daya manusia hingga ketidakpastian politik menjelang Pemilu 2014," ucapnya. (*)

Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2013