Kami relatif conservative bias, artinya kami melihat bahwa ada potensi penurunan Fed Funds Rate sekitar 25 basis poin (di akhir 2024), namun BI-nya kami perkirakan akan tetap stay di kisaran 6,25 persen sehingga ini kami perkirakan bahwa nilai tukar
Jakarta (ANTARA) - Chief Economist PermataBank sekaligus Head of Permata Institute for Economic Research (PIER) Josua Pardede memperkirakan suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI-Rate di level 6,25 persen bertahan hingga akhir tahun 2024.

"Kami relatif conservative bias, artinya kami melihat bahwa ada potensi penurunan Fed Funds Rate sekitar 25 basis poin (di akhir 2024), namun BI-nya kami perkirakan akan tetap stay di kisaran 6,25 persen sehingga ini kami perkirakan bahwa nilai tukar rupiah setidaknya masih akan berada dalam kisaran Rp16 ribu," kata Josua dalam "Pemaparan Indonesia Economic Review 1Q2024" di Jakarta, Selasa.

Josua menilai, kebijakan BI untuk menaikkan suku bunga acuan merupakan langkah pre-emptive dalam rangka menjaga stabilitas nilai tukar rupiah serta menjangkar ekspektasi inflasi, khususnya untuk mengelola imported inflation.

Dia mengingatkan, penguatan dolar AS cenderung akan mendorong risiko imported inflation. Untuk meredam imported inflation, maka kenaikan suku bunga BI dinilai merupakan langkah yang tepat.

"Namun apakah ini (kenaikan BI-Rate) berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi? Tidak juga. Kami melihat bahwa BI itu kebijakannya tidak hanya sebatas pada kebijakan moneter. Kalau kita lihat dari sisi kebijakan BI lainnya, seperti makroprudensial, sistem pembayaran, pendanaan pasar keuangan, ini masih relatif longgar apalagi dengan kebijakan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) masih akan tetap dilonggarkan ataupun dilanjutkan," kata dia.

Josua mengatakan bahwa arah suku bunga bank sentral utama di dunia, termasuk Indonesia, cenderung dipengaruhi oleh arah suku bunga The Fed atau Bank Sentral AS. The Fed diperkirakan hanya menurunkan suku bunga acuan sekitar 25 bps di akhir tahun 2024 dan akan lebih agresif di tahun depan, sejalan dengan ekspektasi inflasi AS yang akan mulai mendekati target.

"Kami melihat bahwa dengan kondisi tensi geopolitik global yang masih cukup dominan serta masih ada ketidakpastian terkait dengan seberapa besar penurunan suku bunga The Fed, maka kebijakan moneter (oleh BI) tentunya akan diambil dengan berhati-hati," imbuh dia.

Kemudian terkait dampak kenaikan BI-Rate terhadap suku bunga perbankan, Josua menilai dampak tersebut cenderung akan lebih terbatas. Jika dilihat dari sisi likuiditas melalui beberapa indikator, seperti rasio alat likuid terhadap non-core deposit (AL/NCD) serta rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK), ini masih di atas ambang batas dan belum ada indikasi tren yang mengetat yang cukup signifikan.

"Kami juga melihat ada kondisi resiliensi dari sisi penyaluran kredit perbankan yang masih tumbuh double digit di tahun ini, sejalan dengan likuiditas dari perbankan masih ample serta dukungan kebijakan makroprudensial kepada perbankan sehingga penyaluran kredit perbankan masih akan tetap solid. Ditambah lagi, sekalipun memang kebijakan OJK yang terkait dengan COVID-19 sudah selesai, ini kita melihat bahwa NPL tetap akan terjaga," kata Josua.

Baca juga: Gubernur BI: Kami upayakan kurs rupiah turun di bawah Rp16 ribu
Baca juga: Danamon proyeksikan BI-Rate 6,25 persen bertahan hingga akhir 2024
Baca juga: Sri Mulyani waspadai dampak BI Rate terhadap penerimaan pajak RI

 

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2024