Jakarta (ANTARA News) - Ketua Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh dan Nias, Kuntoro Mangkusubroto, mengakui adanya penyimpangan prosedur di lembaga yang dipimpinnya, namun hal itu terjadi karena kondisi darurat. "Suasana darurat sangat menonjol pada 2005. Dalam suasana itu, kita berusaha mengikuti prosedur, meski terjadi ketergesaan, karena didesak waktu. Saya kira itulah yang terjadi," kata Kuntoro setelah bertemu Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Wapres di Jakarta, Kamis. Namun, ia mengemukakan, pihaknya sampai saat ini menyimpulkan belum ada tanda mengenai korupsi. "Yang ada, mungkin penyimpangan atau karena ingin mempercepat prosedur atas nama kecepatan dan kedaruratan, yang kemudian menyerempet ke persoalan itu," katanya. Kuntoro mencontohkan, soal pengadaan alat-alat kantor pada 2005 harus dilakukan, karena jika tidak BRR tidak bisa segera bekerja. Ia menyatakan, dalam kondisi seperti itu proses penunjukan langsung untuk pengadaan alat-alat kantor, seperti komputer dan sebagainya bisa dipahami, tetapi apabila dilakukan dalam suasana yang tidak darurat, maka hal itu tidak bisa diterima. Kuntoro menjelaskan, jika dilakukan tender, maka diperlukan waktu 59 hari, karena keterbasan waktu pada waktu itu, maka BRR tidak bisa menunggu, sehingga dilakukan pendekatan lain dengan cara penunjukkan langsung. Menanggapi dugaan korupsi senilai Rp23,96 miliar yang dilansir Indonesia Corupption Watch (ICW), Kuntoro mengatakan, pihaknya saat ini masih melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah orang di BRR. "Kita terima masukan-masukan itu, dan hingga ini masih mempelajari dokumen-dokumen secara mendalam," ujarnya. Menurut Kuntoro, hal itu sudah dilaporkan ke Wapres, yang memintanya untuk memberikan perhatian terhadap masalah itu, tanpa menganggu kinerja BRR. Berkaitan dengan pemusnahan obat kadaluwarsa yang diduga melibatkan pejabat BRR, Kuntoro menjelaskan, saat ini di Aceh terdapat 3.000 ton obat kadaluwarsa dan Nias 200 ton, dan emua itu harus dimusnahkan, agar tidak beredar di pasaran yang membahayakan masyarakat pengonsumsinya. "Cara memusnahkannya ada dua, dimasukkan dalam tanah atau dibakar," ujarnya. Jika dibenamkan dalam tanah, menurut dia, obat dalam kapsul kadaluwarsa itu dinilai berbahaya, apalagi di wilayah yang sering terjadi gempa, karena kalau pecah racunnya bisa masuk ke tanah dan bisa meracuni manusia. Oleh karena itu, ia mengemukakan, dilakukan pendekatan lain, yakni dibakar di tungku pabrik semen. "Satu-satunya pabrik semen yang punya izin adalah Holcim," demikian Kuntoro. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006