Jadi, daripada terus-menerus penghulu dianggap sebagai penerima suap, bagaimana jika pelayanan publik itu diserahkan kepada masyarakat?"
Jakarta (ANTARA News) - Jika para penghulu tidak melayani pernikahan di luar jam kantor dan pada hari libur terhitung 1 Januari 2014, bisa jadi peristiwa ini merupakan sejarah baru bahwa pelayanan publik di bidang keagamaan tidak lagi bisa diandalkan kepada birokrat.

Seandainya profesi penghulu disamakan dengan modin, pemandi mayat, juru azan, muazin, pegawai masjid, ataupun lebai di kampung tentu pegawai Kantor Urusan Agama (KUA) itu tak bakal dituduh sebagai penerima dana gratifikasi.

Namun, penghulu dengan kedudukannya sebagai pengawai negeri sipil (PNS) tidak dibernarkan menerima imbalan sebagai profesinya menjadi penghulu.

Para penghulu menolak menikahkan pasangan pengantin di luar jam kantor atau pada hari libur merupakan bentuk solidaritas terhadap rekannya Romli, pegawai KUA Kediri yang diseret ke meja hijau lantaran dituduh menerima dana gratifikasi.

Menteri Agama  Suryadharma Ali menyatakan tidak bisa menghalangi para petugas KUA ataupun penghulu untuk membatasi pelayanan pernikahan di luar jam kantor ataupun hari libur, yaitu mulai 1 Januari 2014 tidak ada lagi pelayanan di luar balai nikah guna menghindari praktik menerima gratifikasi.

Tindakan para penghulu itu memang bukan dalam bentuk pemogokan, melainkan hanya membatasi pelayanan kepada warga yang hendak menikahkan anggota keluarganya di luar jam kantor ataupun pada hari libur, kata Menag ketika menerima Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI) di kantor kementerian tersebut di Jakarta, Jumat (27/12).

"Saya tidak melarang juga tidak menganjurkan," ujar Menag kepada pers.

Pembatasan pelayanan itu diarahkan sebagai menjaga kehormatan dan martabat penghulu guna menghindari penilaian bahwa mereka menerima dana gratifikasi dari keluarga shahibul bait atau tuan rumah ketika menikahkan pasangan pengantin di luar jam kantor atau pada hari libur.

Sisi lain, sebagai dampak dari itu merupakan wujud dari makin tingginya kesadaran hukum para penghulu.

Budaya pemberian amplop dari tuan rumah kepada penghulu sudah berlangsung lama di negeri ini.

Bahkan, itu sudah menjadi "kearifan lokal".

Persoalan itu mencuat tatkala Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan survei kepada publik tentang pelayanan di sejumlah kementerian. KPK memberi nilai pada Kementerian Agama (Kemenag) di bawah rata-rata layanan publik nasional.

Kemenag mendapat nilai di atas 6 untuk layanan KUA. Akan tetapi, di bawah rata-rata nasional karena rata-rata nasional kan 6,35, sedangkan KUA itu 6,07," kata Irjen Kemenag Muhammad Jasin, beberapa waktu lalu.

Upah penghulu KUA per acara pernikahan sebesar Rp30 ribu. Di atas tarif itu, oleh KPK dinilai sebagai perbuatan menerima suap atau gratifikasi.

Pemerintah melalui APBN sejak 2008 mengucurkan dana operasional untuk KUA sebesar Rp2,5 juta per tahun.

Uang sebesar itu diperuntukkan untuk membayar listrik kantor, peralatan kantor atau ATK, air PAM, dan sebagainya. Jauh dari cukup. Jelas saja dana operasional seperti itu sangat jauh dari memadai.

Kewajiban seorang penghulu sebetulnya saat jam kerja. Di luar jam kedinasan, para penghulu tak pernah menerima dana operasional.

Jadi, sekalipun Kemenag sudah mengimbau agar umat Islam menikah di KUA, hingga saat ini tak dipatuhi.

Perlu dipahami bahwa posisi penghulu di tengah masyarakat adalah sebagai pelayan.

Oleh karena itu, dalam setiap kegiatan pernikahan, dia harus memperhatikan unsur agama, budaya, tradisi, gengsi, dan klenik. Jadi, bukan urusan administrasi semata.

Oleh karena itu, Suryadharma Ali menilai bahwa dana gratifikasi yang diterima penghulu selama ini erat kaitan dengan kearifan lokal di tiap daerah.

Aspek pidana
Menurut M. Jasin, hasil survei menunjukkan bahwa pelayanan publik dari KUA telah menempatkan Kementerian Agama sebagai lembaga terkorup. Itu harus diperbaiki.

Ia mengakui bahwa biaya administrasi pernikahan sesuai dengan aturan hanya Rp30 ribu. Akan tetapi, penghulu memungut biaya pernikahan lebih dari itu.

Diperhitungkan jika ada 2,5 juta hajatan pernikahan setiap tahun dengan rata-rata Rp500 ribu setiap hajatan, total pungutan tersebut mencapai Rp1,2 triliun.

Atas tuduhan seperti itulah lantas penghulu membatasi pelayanan kepada publik.

 Jika hal itu masih tetap dikategorikan sebagai gratifikasi, penghulu dan tuan rumah adalah sebagai pelakunya.

Di sisi lain, Ketua Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI) Wagimun menilai Pemerintah tidak tegas dengan membiarkan penghulu diposisikan sebagai penerima dana gratifikasi sehingga beberapa penghulu di Jatim kini menjadi incaran pihak kejaksaan.

Jadi, daripada terus-menerus penghulu dianggap sebagai penerima suap, bagaimana jika pelayanan publik itu diserahkan kepada masyarakat?

Terkait dengan hal itu, staf ahli Menteri Agama Abdul Fatah mengusulkan agar pelayanan nikah ke depan diserahkan saja kepada publik.

Dalam hal ini, masyarakat bersama ulama setempat menentukan siapa yang pantas menjadi penghulu, sementara Pemerintah membuat regulasinya. Sebab, hingga kini solusi mengatasi hal itu belum juga konkret.

Oleh Edy Supriatna Sjafei
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014