Waktu Ajeng ulang tahun, dirayain, meriah loh."
Singapura (ANTARA News) - Suatu sore di akhir pekan penghujung 2013. Argi, Ajeng, dan Uut menghabiskan waktu di Vivo City, pusat perbelanjaan besar di Singapura.

Tiga orang itu bekerja di Singapura sebagai Penata Laksana Rumah Tangga - sebutan resmi untuk pembantu rumah tangga.

Usai menghadiri acara Cabutan Bertuah yang diadakan perusahaan pengiriman paket Pos TKI, ketiganya bergegas ke mal yang berdempetan dengan Pelabuhan Harbour Front menggunakan MRT, transportasi massal di Singapura.

Argi dan Uut mengenakan celana jeans dipadu kaus sedangkan Ajeng memakai kaus ketat dipadu celana pendek berwarna merah muda yang panjangnya hanya sekitar sejengkal dari pinggang.

Tak lupa, Ajeng mengenakan stoking untuk menutupi pahanya. Ketiganya mengenakan kaca mata hitam.

Sepintas, tidak ada yang membedakan mereka dari ribuan pengunjung Vivo City lainnya.

Ketiganya tidak nampak sebagai pekerja domestik yang biasa mencuci piring, bebenah dan pekerjaan rumah lainnya.

Apalagi ketika ketiganya mengeluarkan telepon selular pintar miliknya, Ajeng dengan Galaxy Tab III, Uut dengan iPhone S4 dan Argi dengan Galaxy Note.

Disayang majikan
Argi, Ajeng dan Uut bisa bebas ke luar rumah majikan pada hari itu.

Mereka dan ribuan pekerja domestik lainnya diberikan libur satu hari dalam sepekan.

Kebijakan itu didukung penuh oleh Pemerintah Singapura.

Tidak heran jika setiap hari Minggu, kereta bawah tanah MRT penuh dengan candaan TKI berbahasa Indonesia dan bahasa daerah, terutama bahasa Jawa.

Canda tawa itu juga yang terbawa saat Argi, Ajeng dan Uut ke luar dari gerbang MRT yang menjadi pintu masuk Vivo City.

Kepada Antara, mereka bercerita tentang majikan amat menyayanginya, memperlakukan sebagaimana manusia terhormat, tidak ada rasa merendahkan.

"Majikan sayang dong, masak enggak sayang," kata Uut yang bekerja untuk dua rumah, tempat tinggal majikan utama dan orang tua majikan.

"Edan, mereka perhatian banget. Tidak seperti majikan," kata dia.

Sering, majikannya yang membuatkan Uut makanan.

"Karena saya tidak bisa masak," kata perempuan berusia sekitar 35 tahun itu lalu tersenyum.

Kembali Uut bercerita, saat disuruh membeli penganan pesanan majikan di sebuah restoran, ia kembali ke rumah membawa berkantong-kantong belanjaan.

Setibanya di pintu rumah, majikannya langsung mengambil semua kantong dan membawa sendiri ke dalam, karena kasihan dengan beban berat Uut.

"Dia marah, kenapa saya tenteng belanjaan. Padahal sudah dikasih uang naik taksi, tapi saya malah naik MRT nenteng-nenteng belanjaan berat," katanya sambil tertawa.

Uut kemudian melirik iPhone miliknya. "Ini saja saya enggak mau beli hape baru, padahal sudah jelek. Tunggu Lebaran China, biar dibelikan," katanya sambil menyuap Young Tau Foo.

Ulang tahun mewah
Lain cerita Uut, lain pula cerita Ajeng. Sambil duduk bersila di lantai Pelabuhan Harbour Front, menghadap ke Vivo City, Ajeng memamerkan kumpulan foto di Samsung Galaxy Tab miliknya, ia memulai cerita.

"Ini waktu Ajeng di kampung. Masih feminim. Di kampung, Ajeng jadi guru," kata dia sambil menyapu rambut pendeknya yang dicat pirang.

"Waktu Ajeng ulang tahun, dirayain, meriah loh," katanya sambil memperlihatkan rekaman video dari gadgetnya itu.

Di video itu nampak Ajeng, mengenakan rok terusan ketat dan pendek tengah bernyanyi di atas kursi tunggal. Nampak lampu berkelap-kelip sebagai latar belakangnya.

"Ajeng undang lebih dari 100 orang. Yang datang berapa ya, ada banyak juga,..." ceritanya.

Untuk pesta ulang tahun ke-25 itu, Ajeng mengaku menghabiskan uang sekitar 1.000 dolar Singapura (kurs awal Januari 1 dolar Singapura setara dengan Rp9.900).

"Dua bulan gaji itu. Gaji Ajeng 600 dolar Singapura," kata dia.

Ia mengatakan tidak bisa berhemat dan jarang mengirimkan uang ke kampung. Biasanya upahnya yang kini setara dengan Rp5,9 juta itu habis dalam sekejap.

"Ajeng memang boros. Sudah dinasehatin supaya hemat, susah dia itu," tiba-tiba Argi menimpali.

Argi bersender pada koper besar berwarna ungu yang baru saja dibelinya. "Harusnya hemat, biar bisa pulang bawa banyak uang," kata Argi yang berencana terbang ke Jakarta pada Juni mendatang.

Argi, perempuan keturunan Ambon itu memilih pulang kampung ke Jakarta ketimbang Ambon. Ia pun sudah menyiapkan berbagai oleh-oleh untuk kerabatnya di Batam dan Jakarta.

"Saya mau ke Batam dulu, baru ke Jakarta. Ke Batam mau ke rumah Teh Gita (penyiar Batam FM, idolanya) baru habis itu terbang ke Jakarta," kata dia.

Ia bersyukur, saat ini nilai Dolar Singapura tengah naik, sehingga bisa mendapatkan rupiah lebih banyak.

Sejahtera
Ketua Jaringan Tim Advokasi TKI Internasional Yoga Dirga Cahya mengatakan umumnya kondisi pekerja Indonesia yang berada di Singapura lebih sejahtera.

Menurut dia, di antara negara-negara lain, Pemerintah Singapura paling baik memperlakukan TKI. "perlindungannya lebih baik."

Tidak seperti di negara lain, jarang ada masalah antara majikan dan PLRT di Singapura. Umumnya, hubungan keduanya harmonis dan saling menghargai.

Duta Besar Indonesia untuk Singapura Andri Hadi mengatakan pada dasarnya majikan menyayangi TKI.

"Pernah ada yang mendapatkan warisan 1 juta dolar dari majikannya," kata Dubes bercerita.

TKI, kata Dubes, memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian Indonesia, juga Singapura. Karena jutaan orang di Singapura hidupnya terbantu oleh PLRT.

"Terimakasih untuk TKI, yang penting, bekerja keras untuk keluarga dan bisa memberikan contoh yang terbaik," kata dia.

Oleh Yunianti Jannatun Naim
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2014