Oleh Eddy Karna Sinoel Yogyakarta (ANTARA News) - Semakin lengkaplah penderitaan korban gempa Yogyakarta jika bantuan dana rekonstruksi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk membangun kembali rumah para korban, belum juga diberikan hingga memasuki musim hujan tahun ini. Penderitaan itu akan bercerita tentang balada Yogyakarta, kota yang memberi andil dalam perjuangan bangsa, sebuah kota budaya dan menjadi salah satu "kiblat" pendidikan di Indonesia selain disebut sebagai "miniatur Indonesia" karena pluralismenya yang terpelihara dengan baik. Sejak April hingga Juli lalu, Yogyakarta dan daerah-daerah di sekitarnya dilanda bencana. Awan panas dan muntahan material vulkanik Gunung Merapi merenggut korban jiwa, dan ribuan penduduk terpaksa mengungsi selama berbulan-bulan. Kini bencana alam sudah berlalu, tinggal lagi "bencana alami" yang dihadapi warga korban gempa terutama di Kabupaten Bantul, wilayah paling parah kerusakannya akibat gempa bumi 27 Mei lalu. "Bencana alami" itu berkaitan dengan persoalan birokrasi. Korban gempa berhadapan dengan para penguasa dan birokrat. Bisa dibayangkan, selama ini membuat kartu tanda penduduk saja bisa berbulan-bulan baru selesai, apalagi `minta` dicairkan uang bantuan rekonstruksi Rp15 juta per unit rumah yang katanya dana Rp749 miliar sudah disiapkan untuk tahap pertama. Minta pencairan dana Rp749 miliar untuk korban gempa? Mengutip syair Ebiet G Ade, "Mari bertanya pada rumput yang bergoyang". Wajah negeri ini, reformasi atau sebelumnya, masih abu-abu, yang tidak berdaya akan semakin tidak berdaya jika berhadapan dengan pemilik otoritas, pemegang kekuasaan. Dalam sepuluh hari terakhir sudah terjadi empat kali aksi demonstrasi warga korban gempa ke kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menuntut segera dicairkannya bantuan rekonstruksi, pembagian dilakukan secara merata, dan dalam bentuk uang tunai. Forum Suara Warga Korban Gempa Yogyakarta melakukan aksi demonstrasi pada Selasa (22/8), dilanjutkan Rabu (23/8) oleh Forum Rakyat Korban Bencana, Senin (28/8) aksi Gabungan Posko Rakyat dan Selasa (29/8) dimotori oleh Paguyuban Korban Gempa Yogyakarta. Keinginan warga korban gempa yang tergabung dalam berbagai forum tersebut mengerucut pada tuntutan yang sama, "Cairkan bantuan rekonstruksi sebelum masuk musim hujan, bagi secara merata untuk seluruh korban gempa, dan berikan dalam bentuk uang tunai". Tuntutan korban gempa nampaknya tidak berlebihan, wajar, karena realistis. Musim hujan semakin dekat. Kota Yogyakarta dan wilayah di sekitarnya dalam empat hari terakhir selalu mendung, sempat gerimis kecil dirasakan beberapa saat, hujan sepertinya bakal segera turun. "Ke mana kami berlindung, apa harus tetap di tenda-tenda selama musim hujan?" Ini adalah ungkapan seluruh korban gempa yang hingga sekarang belum bisa membangun kembali rumahnya yang roboh dan tidak layak huni. Terkadang mereka pun mulai pesimistis menghadapi bulan suci Ramadhan dan Idul Fitri 1427 Hijriyah. Puasa tidak sampai sebulan lagi, Idul Fitri pada pekan terakhir Oktober 2006. Tidak begitu jelas substansi apa yang menyebabkan bantuan rekonstruksi tersendat dibagikan kepada korban gempa. Suara-suara dari jajaran birokrasi berada pada wilayah "abu-abu" seperti masih didata, masih berkoordinasi, masih disusun standar operasional prosedur yang harus `bolak-balik` antara provinsi dan kabupaten/kota. Atas nama keakuratan, agar tidak kacau, bisa dipertanggungjawabkan, dan demi tepat sasaran -- langkah pemerintah yang terkesan sangat hati-hati membagikan bantuan rekonstruksi itu, ada benarnya juga. Tetapi, persoalan seperti itu sampai kapan berakhir, korban gempa harus memperjuangkan hidup mereka di tenda-tenda, di rumah yang belum jadi, dan disadari bersama bahwa hujan tidak bisa diajak kompromi. "Korban gempa sudah terlalu lama menunggu pencairan bantuan dana rekonstruksi, namun tak kunjung tiba," kata Koordinator Aksi Gabungan Posko Rakyat, Ali Suharjono dalam aksi demonstrasi di kantor Gubernur DIY Kepatihan Yogyakarta (28/8). Mereka bahkan mengingatkan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota tentang bahaya konflik horisontal jika penyaluran dana rekonstruksi rumah tidak dibagikan secara merata atau diskriminatif. "Kebijakan pemerintah yang diskriminatif terhadap korban gempa, misalnya tidak memberikan bantuan dana rekonstruksi kepada semua korban gempa atau hanya 47 ribu dari 206 ribu unit rumah yang rusak, justru menimbulkan kekhawatiran masyarakat terhadap kemungkinan munculnya konflik horisontal," kata Ali. Paguyuban Korban Gempa Yogyakarta dalam aksi demonstrasi (29/8) melalui juru bicara Dwi Purnama menyatakan menolak kebijakan penyaluran bantuan rekonstruksi sebesar Rp749 miliar lebih kalau hanya untuk 47.000 korban gempa dengan alokasi Rp15 juta setiap rumah. Kebijakan itu, menurut dia, berpotensi menimbulkan konflik antarkorban gempa karena akan tercipta kecemburuan sosial serta mengingkari semangat gotong royong di tengah masyarakat. "Kami mendesak pemerintah provinsi membagi rata seluruh dana bantuan tersebut, dan memberikannya dalam bentuk uang tunai, bukan bahan bangunan," katanya. Sementara Forum Rakyat Korban Bencana (FRKB) dalam aksi demonstrasi (23/8) menilai pemerintah dengan sengaja mengombang-ambingkan nasib korban gempa yang dapat menciptakan keresahan di masyarakat. "Kalau cara ini dibiarkan, dan korban gempa semakin tidak berdaya, maka tidak tertutup kemungkinan akan mempercepat terjadinya konflik antarwarga," kata koordinator lapangan aksi tersebut, Suroto. Forum Suara Warga Koran Gempa Yogyakarta, seperti diungkapkan koordinator aksi, Suparji dalam demonstrasi (22/8) minta kepada pemerintah untuk memahami kondisi warga korban gempa saat ini yang masih tinggal di tenda atau rumah sementara. Mereka juga mengingatkan pemerintah bahwa korban gempa mulai resah setelah mendengar kabar bahwa pemerintah akan mengucurkan dana bantuan Rp15 juta per rumah bagi sekitar 20 persen dari seluruh rumah yang roboh atau rusak akibat gempa. "Yang 80 persen lagi belum ada kepastian kapan diserahkan bantuannya. Kabar ini mencemaskan korban gempa, bisa menimbulkan kecemburuan dan konflik horisontal," kata dia. Pemerintah perlu mengedepankan aspirasi korban gempa, karena pemerintah yang baik adalah pemerintah yang mengambil kebijakan berdasarkan kehendak rakyat. Begitulah sejatinya pemerintah jika ingin disebut benar-benar bercermin dalam kalbu rakyat. Asumsi Ical Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pidato kenegaraan 16 Agustus lalu mengatakan, dana dari daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) rekonstruksi pascagempa DIY-Jawa Tengah tahap pertama sudah dikucurkan sebesar Rp1,2 triliun masing-masing Rp749 miliar untuk DIY dan Rp451 miliar untuk Jawa Tengah. Pemerintah juga telah mengajukan lewat APBN perubahan sebesar Rp1,5 triliun, dan pada APBN 2007 nanti diajukan lagi Rp2,7 triliun. "Pemerintah pusat sudah memberikan bantuan dana rekonstruksi sebesar 30 persen," kata Menko Kesra Aburizal Bakrie, yang akrab dianggil Ical ketika berkunjung ke Yogyakarta (28/8). Ia pun minta kepada pemerintah daerah yang wilayahnya dilanda gempa untuk segera menyalurkan bantuan dana rekonstruksi tahap pertama yang sudah diserahkan pemerintah pusat itu. "Dana itu jangan hanya disimpan di bank," kata Ical menjawab pertanyaan wartawan soal tersendatnya pembagian bantuan dana rekonstruksi kepada korban gempa di wilayah DIY. Kelihatannya pemerintah daerah belum menyalurkannya kepada korban gempa, sehingga mereka tidak dapat memulai pembangunan kembali rumahnya. Jadi, menurut Ical, "Sangat disayangkan jika bantuan dana rekonstruksi korban gempa tahap pertama itu belum disalurkan untuk membantu korban gempa". Mestinya bantuan dana tahap pertama itu dipakai dulu, paling tidak untuk membangun fondasi, sehingga korban gempa tidak lagi menunggu-nunggu cairnya dana tersebut. Nanti setelah bantuan dana tahap pertama disalurkan, pemerintah akan menyerahkan lagi dana bantuan rekonstruksi sebesar 40 persen, selanjutnya tinggal 30 persen. "Setelah penyaluran dana tahap pertama 30 persen selesai dibagikan, dilanjutkan 40 persen lagi kemudian 30 persen. Karena itu, pemerintah daerah hendaknya segera menyalurkan dana yang sudah diterima. "Masak hanya ditaruh di bank saja," kata Ical. Asumsi Ical didengar jajaran birokrasi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY. "Dana dari DIPA Tahap I sebesar Rp749 miliar saat ini disimpan di bank oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN)," kata Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Bambang S Priyohadi (29/8). "Uang itu disimpan di bank oleh KPKN. Banknya bank apa, kami tidak tahu, karena tidak melalui pemerintah provinsi. Pencairan dana untuk bantuan rekonstruksi rumah korban gempa itu nantinya juga tidak lagi melalui Pemprov DIY, tetapi dari KPKN langsung kepada rakyat korban gempa," katanya. Biarkanlah silang pernyataan di jajaran penguasa dan birokrasi terus mengemuka di media massa, karena negeri ini memang masih `merangkak` dalam upaya menuju sistem pemerintahan yang baik untuk rakyatnya. Bagi korban gempa, aspirasi sudah digulirkan, dan aspirasi itu akan terus dikawal. Bagaimana menyikapinya, pemerintah daerah tentu paling tahu apa yang harus dilakukan demi rakyatnya yang sedang ditimpa bencana. "Hati nurani adalah hakim yang adil". Ini sepenggal sajak Rendra yang mungkin bisa mengetuk nurani penguasa, bahwa korban gempa akan menghadapi lebaran dan musim hujan.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006