Depok (ANTARA News) - Pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI) Rizal E Halim menilai, kenaikan gas elpiji yang hanya berdasarkan hitungan bisnis tentunya tidak berempati pada masyarakat.

"Keputusan Pertamina hanya berdasar pada keputusan bisnis dan tidak berempati kepada kepentingan masyarakat," katanya di Depok, Minggu.

Untuk itu ia berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membatalkan kenaikan harga gas elpiji 12 kg tersebut, karena tidak sejalan dengan visi presiden yang selama ini mengedepankan kepentingan masyarakat khsususnya dalam menjaga daya beli masyarakat.

"Tahun 2013 pemerintah telah berjibaku mengendalikan inflasi dan mempertahankan daya beli masyarakat," ujarnya

Dikatakan awal tahun Pememerintah juga meluncurkan jaminan kesehatan nasional yang banyak membantu masyarakat dalam bidang kesehatan, belum lagi empat klaster pengentasan kemiskinan yang juga telah diluncurkan.

"Semuanya didesain untuk melindungi kelompok maskyarakat agar daya belinya tidak turun," katanya.

Dengan adanya kenaikan gas elpiji yang cukup tinggi ini tentunya akan mempengaruhi ekonomi masyarakat terutama di kalangan pengusaha menengah yang banyak menggunakan gas elpiji tersebut.

Pertamina per 1 Januari 2014 menaikkan harga elpiji tabung 12 kg sebesar 68 persen untuk mengurangi kerugian bisnis bahan bakar nonsubsidi itu yang rata-rata sebesar Rp6 triliun per tahun.

Setelah ditambah biaya distribusi dan pengisiian elpiji, maka harga elpiji sampai di konsumen setelah kenaikan menjadi Rp130.000--Rp140.000 per tabung 12 kg. Pertamina menghitung pascakenaikan kerugian bisa ditekan dari Rp6 triliun menjadi Rp2 triliun.

Harga pokok pengadaan elpiji terutama ditentukan harga pembelian yang mengacu pasar dan nilai tukar rupiah.

Pewarta: Feru Lantara
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2014