Semarang (ANTARA News) - Pakar hukum tata negara Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang Rahmat Bowo mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memang harus bersifat final dan mengikat.

"Di mana-mana (negara mana pun yang punya lembaga MK, red.), putusan MK pasti bersifat final and binding (final dan mengikat, red.). Memang diatur begitu," katanya di Semarang, Kamis.

Menurut dia, MK diposisikan sebagai peradilan tata negara yang mengadili dalam konteks publik, seperti perundang-undangan sehingga kalau putusannya bertele-tele akan menimbulkan masalah.

Oleh karena itu, kata dia, tidak ada upaya hukum lain yang bisa diajukan terhadap putusan MK, bahkan ditinjau ulang oleh lembaga itu sendiri karena Undang-Undang MK tidak mengatur upaya tersebut.

"Kalau putusan MK bisa ditinjau ulang berarti kan tidak ada kepastian. Akan menimbulkan masalah tersendiri. Ya, memang sudah tepat seperti ini, putusan MK harus final dan mengikat," katanya.

Persoalan yang mungkin timbul, kata dia, sebagaimana yang menimpa MK sekarang ini, ketika salah satu hakim konstitusinya terjerat kasus hukum yang dikhawatirkan berpengaruh dengan putusan lembaga itu.

Akan tetapi, pengajar Fakultas Hukum Unissula itu mengingatkan bahwa setiap putusan MK diambil oleh sembilan hakim konstitusi, atau dalam keadaan tertentu bisa diambil oleh tujuh hakim konstitusi.

"Jadi, keputusan MK selama kepemimpinan Akil Mochtar pun diambil oleh sembilan hakim, bukan hanya Akil. Kalau keputusan sembilan hakim itu tidak bulat, akan diambil berdasar suara terbanyak," katanya.

Ia mengatakan semua hakim konstitusi terlibat dalam pengambilan setiap keputusan, dan bagi hakim-hakim konstitusi yang tidak sependapat dengan suara mayoritas pun diberikan "dissenting opinion".

"Kalau pun misalnya Akil nantinya terbukti menerima suap. Belum tentu memengaruhi putusan MK. Sebab, bukan hanya Akil yang memutuskan. Delapan hakim konstitusi lainnya kan masih bersih," katanya.

Kecuali, kata dia, kalau misalnya ditemukan bukti baru bahwa sebagian besar hakim konstitusi ikut menerima suap dan telah ditetapkan dengan keputusan mengikat oleh pengadilan, selain Akil.

"Kalau misalnya seperti itu, memang perlu terobosan hukum. Namun, sejauh ini saya menilai UU MK yang tidak membuka pengajuan upaya hukum lain atas putusan MK sudah sangat tepat," kata Rahmat.

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014