Awan seperti itu juga pernah muncul di Malaysia, tetapi tidak terjadi gempa."
Yogyakarta (ANTARA News) - Masyarakat memerlukan serangkaian cara menghilangkan mistik (demistifikasi) terkait bencana alam, agar dampak positif dan tanggap bencana lebih mudah dilakukan, kata peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dwikorita Karnawati.

"Demistifikasi persepsi pada masyarakat penting karena mitos dan mispersepsi terkait kejadian bencana alam justru tidak memberikan dampak positif dalam penanggulangan bencana," ujarnya di Yogyakarta, Sabtu.

Ia menimpali, "Dalam konteks itu ilmu pengetahuan dan kearifan lokal bisa dimanfaatkan, meskipun tidak semua kejadian bencana bisa diungkap."

Pada seminar "Desmistifikasi Persepsi Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Alam", ia mengatakan, kejadian gempa bumi di Kebumen, Sabtu (25/1) dan gempa bumi di Bantul 2006 selalu dikaitkan dengan kemunculan awan cirrus (awan tegak lurus).

"Padahal, kemunculan awan tersebut bisa ada di mana-mana, tetapi tidak berpengaruh pada ada dan tidaknya kejadian gempa. Awan seperti itu juga pernah muncul di Malaysia, tetapi tidak terjadi gempa," kata Guru Besar Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

Menurut dia, hingga saat ini belum ada teknologi yang bisa memprediksi kapan tepatnya kejadian gempa bumi akan berlangsung, sedangkan bencana banjir dan meletusnya gunung berapi masih bisa diprediksi dengan tanda-tanda aktivitas gejala alam yang ditimbulkan.

"Jika gempa bumi tidak bisa diprediksi jam, tanggal, bulan, dan tahunnya, tetapi erupsi gunug berapi masih bisa diprediksi melalui status aktivitasnya dari kondisi siaga dan awas, dan banjir lebih mudah lagi diprediksi," katanya.

Ia mengatakan, masyarakat juga bisa secara langsung untuk mengetahui gejala banjir bandang dengan melihat munculnya gejala alam, misalnya air sungai tiba-tiba berwarna kuning karena membawa kandungan pasir, lumpur atau membawa ranting dan kayu meskipun tidak hujan lantaran bisa jadi hujan justru di hulunya.

Munculnya ranting dan batang kayu yang hanyut di sungai, menurut dia, merupakan contoh untuk bencana banjir bandang, karena bendungan alami yang ada di daerah hulu sungai jebol.

"Bendungan alami terbentuk melalui ranting, pasir, dan kayu. Kejadian itu pernah terjadi di bencana banjir Sungai Wasior, Papua Barat, dan Bahorok, Sumatra Utara," katanya menambahkan. (*)

Pewarta: Bambang Sutopo Hadi
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2014