Persoalan biaya haji tidak berpengaruh, karena murahnya ongkos haji semakin rawan komplain, karena ruang geraknya sempit.
Bogor (ANTARA News) - Pakar Keuangan dan Perbankan Syariah Muhammad Syafii Antonio menilai penurunan biaya atau ongkos haji bukan isu penting yang harus diperdebatkan karena kenaikan harga bukan persoalan bagi jemaah apabila mendapatkan pelayanan dan pendampingan yang bagus.

"Persoalan biaya haji tidak berpengaruh, karena murahnya ongkos haji semakin rawan komplain, karena ruang geraknya sempit. Kenaikan harga itu karena pengaruh dolar, sehingga tidak masalah harga naik setiap tahun," ujar Ketua Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia dalam diskusi umum dengan tema "reformasi haji" di Mesjid Andalusia Sentul, Kabupaten Bogor, Selasa.

Syafii menjelaskan bagi sebagian orang yang menabung selama bertahun-tahun untuk berangkat haji dengan biaya yang mahal menjadi persoalan karena tetap akan menabung dan menunggu.

Tetapi yang harus dihindari adalah dengan biaya asal murah menjadikan penyengsaraan dan komplain karena secara logika kalau segala sesuatu yang bagus perlu biaya dan biaya itu tidak murah.

"Kalau mau penginapan haji jaraknya dekat, rapi dan cantik itu memerlukan harga. Kalau biaya murah, lalu menyengsarakan tidak terjamin kesehatan dan makan, ini akan lebih beresiko lagi," ujarnya.

Ia memberikan contoh, sebagai pribadi yang memiliki pengalaman berhaji sebanyak 21 kali, menambah biaya sebesar 50 sampai 100 dolar bukanlah persoalan yang harus diperdebatkan.

Menurut dia menjadi perhatian serius adalah bagaimana memastikan fasilitas haji lebih bagus, dan untuk mendapatkan bagus tersebut tidak dengan murah, karena hukumnya demikian yang berlaku dimana-mana.

"Kecuali kalau kita mendapat potongan harga (discount)," ujarnya.

Syafii mengatakan, menurut hematnya, yang perlu diperjuangkan bukan biaya haji turun, tapi bagaimana memastikan orang-orang yang terlibat dalam penyelenggaraan haji lebih berkompeten.

Karena situasi saat ini satu kloter calon jemaah haji didamping oleh satu dokter satu bidan dan satu pembimbing ibadah. Hal itu sangat menyulitkan jemaah haji untuk melaksanakan ibadah secara mabrur sesuai syariat dan rukun Islam.

Baiknya satu pendamping membimbing satu bus, jangan 100 orang, perbandingan tempatkan empat sampai lima bahkan 15 orang pendamping membimbing 100 orang, kalau memang harus mengeluarkan biaya untuk bisa menyediakan penyelenggara haji yang berkompeten kenapa tidak.

"Karena bagi sebagian masyarakat 900 ribu memang penurunan harga tapi tidak yakin makan saya tepat waktu, tidak yakin tawafnya dibimbing, karena satu kloter dibimbing satu pendamping ya itu sangat tidak bagus," ujarnya.

Syafii mengatakan perdepatan di DPR RI terkait biaya haji tidak mendasar. Ia berempati dengan Dirjen Penyelenggara Haji dan Umroh serta Menteri Agama serta berempati kepada DPR RI yang menurutnya, jika persoalan haji ini ada yang "nakal" maka harus ditindak.

"Tapi dalam filosofinya, tidak ada pelayanan yang gratis, dan yang bagus itu biasanya memerlukan harga, ada harga ada barang. Dan kita jangan lupa. Kita juga bersaing dengan Singapur, India, Kuait, Malaysia dalam mendapatkan bangunan di tanah suci, kalau mereka berani bayar dan kita tidak berani bayar, maka pondokan kita akan ditaruhkan jauh dibelakang sana," ungkapnya.

Syafii menambahkan secara logika, biaya murah bukan persoalan, tapi bagaimana biaya sedang dengan pelayanan yang bagus, walaupun harus naik, 100 dolar setiap tahunnya tidak masalah.

"Walaupun harus naik, 100 tiap tahun 200 tiap tahun tidak ada masalah wong ngantrinya sudah 15 tahun kok. itu sudah segitu, jadi kenaikan itu tetap aja," ujarnya.

Kenaikan harga ini, lanjut Syafii tidak akan mengurangi kemambruran ibadah haji seorang umat apabila dia harus membayar mahal atau reguler. Karena tolak ukur mambrur adalah apabila terpenuhinya sukun dan syarat haji, bagaimana menjalankan rukun sesuai ajaran Rasulullah SAW dan setelah pulang melaksanakan nilai-nilai tawaf, Sai, nilai jumbroh dengan optimal dan bekal yang diperoleh secara halal.

(KR-LR/Z003)

Pewarta: Laily Rahmawati
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2014