Terdakwa Akil Mochtar bersama-sama Chairun Nisa, Susi Tur Andayani dan Muhtar Ependy melakukan perbuatan yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkar
Jakarta (ANTARA News) - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar diduga menerima lebih dari Rp55 miliar dari pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di MK yang berasal dari sepuluh pilkada.

"Terdakwa Akil Mochtar bersama-sama Chairun Nisa, Susi Tur Andayani dan Muhtar Ependy melakukan perbuatan yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili," kata Ketua Jaksa Penuntut Umum Pulung Rinandoro di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Sembilan sengketa pilkada yang sudah memberikan hadiah kepada Akil adalah terkait permohonan keberatan hasil Pilkada Kabupaten Gunung Mas (Rp3 miliar), Kabupaten Lebak (Rp1 miliar), Kabupaten Empat Lawang (Rp10 miliar dan 500 ribu dolar AS), Kota Palembang (Rp19,9 miliar), Kabupaten Lampung Selatan (Rp500 juta), Kabupaten Buton (Rp1 miliar), Pilkada Kabupaten Pulau Morotai (Rp2,99 miliar), Pilkada Kabupaten Tapanuli Tengah (Rp1,8 miliar) dan janji untuk memberikan Rp10 miliar dari sengketa Pilkada Provinsi Jawa Timur.

Bila dijumlahkan total hadiah yang diduga telah diterima Akil mencapai Rp55,815 miliar.

Dalam perkara sengketa Pilkada Gunung Mas, pemberian uang Rp3 miliar untuk Akil berasal dari bupati terpilih hasil penghitungan suara Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Gunung Mas Hambit Bintih melalui anggota Komisi II dari fraksi Partai Golkar Chairun Nisa pada 2 Oktober 2013.

Akil menjadi ketua panel hakim konstitusi bersama dengan Maria Farida Indrati dan Anwar Usman untuk memutus sengketa tersebut.

Akil pada 24 September 2013 menirim SMS kepada Chairun Nisa berisi "Besok sidang, itu pemohon sudah ketemu saya langsung si Bupatinya, saya minta leweat bu Anisa aja". Akil kemudian meminta Chairun Nisa menyampaikan kepada Hambit Bintih menyediakan uang sebesar Rp3 miliar.

Namun pada 26 September, Chairun Nisa mencoba menawar menjadi Rp2,5 miliar dengan mengirim SMS "2,5 ton ya" tetapi dibalas Akil "janganlah itu sudah pas".

Chairun Nisa pun diketahui meminta "fee" atas jasanya selaku perantara dengan menjawab "OK deh besok saya coba bicara dengan beliau. Tapi Pak Akil kasih aku fee ya..ongkos bawanya" sayangnya permintaan itu ditolak dengan kalimat "Emangnya belanja? Gawat nih, minta sama dia donk kan dia minta tolong sama ibu".

Uang pun disediakan dalam dolar AS oleh pengusaha pendukung Hambit, Cornelis Nalau Antun dan akan di antarkan oleh Chairun Nisa bersama Cornelis ke rumah dinas Akil di kompleks Widya Chandra.

Uang tersebut dibungkus dalam empat amplop dalam mata uang dolar Singapura, dolar Amerika dan rupiah dengan nilai total Rp3 miliar.

"Perbuatan terdakwa selaku hakim konstitusi yang menerima uang senilai lebih kurang Rp3 miliar melalui Chairun Nisa yang diberikan Hambit Bintih dan Cornelis Nalau Antun diketahui atau patut diduga diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara permohonan keberatan hasil Pilkada Kabupaten Gunung Mas untuk diadil agar dalam putusannya menolak permohonan," papar jaksa penuntut umum KPK.

Atas perbuatan tersebut, Akil didakwa berdasarkan pasal 12 huruf c Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat 1 KUHP tentang hakim yang menerima hadiah dengan ancaman pidana maksimal seumur hidup dan denda Rp1 miliar.
(D017/C004)

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014