Semarang (ANTARA News) - Penanganan kriminalisasi perbuatan yang masuk dalam kategori "cybercrime" sebagai tindak pidana hingga saat ini masih membingungkan. "Ada hakim yang menafsirkan 'cybercrime' masuk dalam kategori penipuan, ada pula yang memasukkan kategori pencurian," kata pakar "cybercrime" dari Unversitas Jenderal Soedirman, Agus Raharjo, S.H., M.HUM, dalam bedah buku Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Cybercrime di Indonesia yang berlangsung di Semarang, Selasa. Agus menjelaskan karena belum adanya kesepakatan itu, maka diperlukan pemahaman kepada para hakim mengenai teknologi informasi agar penafsiran mengenai bentuk "cybercrime" ke dalam pasal-pasal KUHP atau undang-undang lain agar tidak membingungkan. Menurut dia, jika dilihat dari pengertian kriminalisasi, sesungguhnya kriminalisasi tidak harus membuat undang-undang khusus di luar KUHP. Karena dapat dilakukan tetap dalam koridor KUHP melalui amandemen. "Akan tetapi proses membuat amandemen KUHP dengan membuat UU khusus hampir sama, baik dari segi waktu maupun biaya, ditambah dengan ketidaktegasan sistem hukum kita yang tidak menganut sistem kodifikasi secara mutlak, sehingga muncul berbagai UU khusus," katanya. Ia menegaskan sebenarnya dalam persoalan "cybercrime" tidak ada kekosongan hukum, jika digunakan metode penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum. "Mestinya hal itu dipegang oleh aparat penegak hukum dalam menghadapi perbuatan yang berdimensi baru yang secara khusus belum diatur dalam undang-undang," katanya. Agus menambahkan dalam persoalan "cybercrime" sangat diperlukan standarisasi dan harmonisasi di antaranya kerjasama dan harmonisasi dalam penegakan hukum serta peradilan. Karena "cybercrime" merupakan kejahatan yang menggunakan teknologi komputer, lanjut dia, maka diperlukan modifikasi jenis sanksi pidana bagi pelakunya, seperti kasus Imam Samudra yang leluasa menggunakan laptop dalam selnya. "Kejahatan 'cybercrime' dapat dilakukan lintas negara, sehingga perjanjian ekstradisi dan kerjasama dengan negara lain perlu dilakukan, terutama untuk menentukan yuridiksi kriminal mana yang hendak dipakai," kata Agus. (*)

Copyright © ANTARA 2006