Jakarta (ANTARA News) - Kalangan perbankan menilai penetapan asumsi dasar ekonomi makro yang disepakati pada APBNP 2006 akhir tahun ini seperti bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebesar 12 persen dan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,8 persen masih masuk akal, karena kondisi perekonomian nasional semakin kondusif untuk sektor riil dan perbankan. "Kebijakan pemerintah menetapkan SBI tiga bulan sebesar 12 persen pada akhir tahun ini masuk akal, melihat kecenderungan suku bunga dan laju inflasi yang terus menurun," kata Direktur Retail Banking PT Bank Mega Kostaman Thayib di Jakarta, Selasa. Ketua Panitia Anggaran DPR Emir Moeis dalam laporannya menyebutkan, asumsi-asumsi dasar ekonomi makro baru disepakati oleh Panitia Anggaran DPR, pemerintah, dan Bank Indonesia (BI) dalam pembahasan tingkat pertama. "Pertumbuhan ekonomi disepakati 5,8 persen lebih rendah dari APBN 2006 sebesar 6,2 persen, inflasi disepakati 8,0 persen atau sama dengan sebelumnya," kata Emir. Sementara nilai tukar disepakati Rp9.300 per dolar AS dari sebelumnya Rp9.900, tingkat suku bunga SBI tiga bulan sebesar 12,0 persen atau lebih tinggi 2,5 persen dari sebelumnya 9,5 persen, harga minyak disepakati 64 dolar AS per barel atau lebih tinggi 7,0 USD per barel dari sebelumnya 57 dolar AS per barel. Kostaman mengatakan, tingkat bunga SBI bisa mencapai level tersebut karena pada saat ini (yang tercatat Jumat, 8/9) tingkat bunga SBI jangka waktu tiga bulan sudah mencapai tingkat 11,36 persen. "Namun Pemerintah juga harus terus melakukan berbagai upaya perbaikan mengenai iklim investasi yang lebih kondusif, perburuhan dan infrastruktur yang makin baik agar pelaku bisnis mulai memutar dananya di sektor riil," katanya. Ia mengatakan, apabila semua itu sudah dapat dilakukan pemerintah pada kuartal akhir tahun ini, kebijakan pemerintah menetapkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 persen pada tahun 2007 diperkirakan bisa tercapai. Biaya Dana Ditanya mengenai bunga bank, Kostaman mengatakan, perbankan akan menurunkan bunganya sebesar 50 basis poin, setelah Lembagai Penjaminan Simpanan (LPS) menurunkan bunganya dari 11,75 persen menjadi 11,25 persen. Namun demikian belum semua bank yang menurunkan bunga pinjamannya segera, karena Perbankan juga harus menyesuaikan biaya dana (cost of fund) di masing-masing banknya. "Perbankan sendiri tidak menyukai tingkat suku bunga yang tinggi, namun untuk segera menurunkan bunga pinjaman mereka harus segera menyesuaikan dengan kemampuan banknya masing-masing. Meski demikian, lanjutnya, pemerintah juga harus memperhitungkan harga minyak dunia yang mengalami kenaikan hingga mencapai 67 dolar AS per barel. "Saat ini harga minyak dunia mencapai di bawah 70 dolar AS per barel, tapi bila terjadi lagi perang di kawasan Timur Tengah maka harga bisa melambung antara kisaran 85-95 dolar AS per barel yang akan berdampak negatif terhadap perekonomian global khususnya Indonesia," katanya. Mengenai rupiah, ia mengatakan, rupiah diperkirakan akan bisa mencapai kisaran 9.000 sampai 9.300 per dolar AS, sedangkan prediksi BI mencapai level 9.200 per dolar AS. Prediksi BI terutama disebabkan kenaikan harga minyak mentah dunia, dan selisih bunga di dalam negeri dan di luar negeri yang semakin mengecil, katanya. Tingkat inflasi pada akhir tahun ini sebesar 8 persen, menurut dia juga masuk akal, setelah inflasi dari Januari sampai Agustus 2006 mencapai 3,36 persen. "Bahkan tingkat inflasi pada akhir tahun kemungkinan besar lebih rendah dari perkiraan 8 persen, karena dengan sisa waktu empat bulan lagi, inflasi kemungkinan hanya akan mencapai di bawah level tujuh persen," katanya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006