Jakarta (ANTARA News) - Departemen Pertahanan (Dephan) belum mengajukan usul pembicaraan kembali tentang pencairan dana pembelian 32 panser VAB (Vehicule de l`Avant Blinde) dari Perancis senilai Rp287,24 miliar kepada Komisi I DPR. Namun Komisi I DPR sudah mengagendakan rapat kerja dengan Menhan Juwono Sudarsono dan Panglima TNI, Marsekal Djoko Suyanto, pada 25 September mendatang, demikian informasi yang diperoleh ANTARA dari staf Komisi I DPR di Jakarta, Selasa. Ia tidak menyebutkan apakah pada tanggal itu Komisi I dan mitra dialognya akan membahas masalah pembelian panser VAB, namun seperti biasanya berbagai masalah bisa saja dibicarakan dalam rapat kerja. Pro-kontra DPR dengan pemerintah yang dipicu oleh keputusan Departemen Pertahanan membeli 32 panser VAB dari Perancis senilai Rp287,24 miliar tanpa tender berujung pada keputusan sidang paripurna DPR 12 September yang meminta Departemen Keuangan untuk tidak mencairkan dulu dana pembelian 32 panser VAB Perancis tersebut. Direktur Eksekutif Lembaga Studi Strategis dan Studi Pertahanan Indonesia (Lesperrsi), Rizal Darmaputra, berpendapat proses pembelian panser Perancis tanpa tender itu membuktikan masih kuatnya "dominasi militer" di Dephan dan belum dimilikinya acuan yang jelas dalam "military procurement" yang menjadi standar pengadaan peralatan militer dan "Dalam konteks 'military procurement', Dephan masih didominasi oleh perwira militer yang masih ingin terlibat dalam bisnis. Walaupun ini wilayahnya Dephan, mereka tetap ingin terlibat sebagai" broker-broker" bisnis (pengadaan Alutsista)," katanya kepada ANTARA pekan lalu. Untuk menghindari terulangnya pembuatan keputusan tentang pembelian Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) TNI tanpa proses tender yang transparan dan obyektif di masa depan, ia mengatakan, supremasi sipil yang kuat dan tidak adanya lagi perwira militer yang memegang jabatan strategis di Dephan mutlak ada. Kriteria Menurut Rizal, Dephan memang sedang menyusun acuan tersebut namun perlu ada kriteria pengadaan Alutsista dalam situasi normal dan darurat. Untuk mendefinisikan masing-masing situasi tersebut, harus pula ada kriteria bagi keduanya yang disepakati Dephan, Mabes TNI, semua angkatan dan lembaga legislatif. Terkait dengan keputusan Dephan membeli langsung 32 panser dari perusahaan Perancis, Renault Trucks, ia mengatakan, selain proses pembeliannya yang salah, harga per unitnya yang mencapai 700.000 Euro itu terlalu mahal padahal pembeliannya dilakukan melalui kesepakatan antar pemerintah (G-to-G), bukan melalui broker. "Informasi yang saya dapatkan, harga per unit panser VAB baru adalah 500.000 Euro, dan yang bekas 400.000 Euro. Ini kan ada selisih harga yang besar. Selisihnya ke mana padahal itu langsung G-to-G bukan rekanan. Artinya, kita masih belum transparan," katanya. Menjawab pertanyaan bahwa menurut Sekretaris Jenderal Dephan Sjafrie Sjamsoeddin seperti dikutip Menhan Juwono Sudarsono pihak produsen di Perancis sudah bersedia menjual produk mereka bahkan sampai 450.000 hingga 500.000 Euro per unit, Rizal mengatakan, ia justru mempertanyakan Dephan dan melihat perubahan sikap produsen panser VAB itu sebagai hal yang aneh. "Saya lihat Sekjennya (Sjafrie Sjamsoeddin) seperti manajer maketing (pemasaran) perusahaan Perancis. Seharusnya sejak awal sudah `firm` (jelas) harganya. harga fixednya (tetapnya) berapa. Ini kan aneh. Begitu DPR menolak, harga bisa turun lagi. Ini kayak beli barang di pinggir jalan," katanya. "Kalau ada perwira militer yang bertindak seperti manajer marketing Perancis, maka profesionalismenya perlu dipertanyakan," kata Rizal. Ke depannya, kata Rizal, kehadiran perwira TNI di Dephan hanya sekadar sebagai pemberi masukan, namun sipillah yang menjadi pengambil keputusan sehingga kalau ada "mark-up" (penggelembungan harga/korupsi-red.) atau kesalahan dalam pengambilan keputusan pembelian Alutsista, yang dimintai pertanggungjawabannya adalah pejabat sipil bukan perwira militer yang memberikan masukan. Kekeliruan Sementara itu, anggota Komisi I DPR, Suripto, mengusulkan pembentukan "Parliamentary Oversight Committee" (Komite Kealpaan Parlemen) untuk menyelidiki kekeliruan pemerintah dalam pembelian perlengkapan bagi kontingen TNI yang tergabung dalam Pasukan Perdamaian PBB (UNPKF) di Lebanon. "Komisi I perlu membentuk `Parliamentary Oversight Committee` yang khusus mengawasi keterlibatan TNI dalam UNPFK," katanya. Terkait dengan harga panser dari Perancis yang turun drastis pun perlu diselidiki. Ada sesuatu yang perlu diselidiki lebih dalam mengapa harganya drastis turun dan ini merupakan bagian dari tugas Parliamentary Oversight Commitee untuk menyelidikinya, katanya. Dalam soal pembelian 32 panser VAB dari Perancis senilai Rp287 miliar tanpa proses tender itu, Suripto mengatakan, Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono "grasa-grusu" (terburu-buru, red) padahal tim pendahulu yang bertugas melihat medan dan cuaca di Lebanon belum berangkat. "Menhan grasa grusu dalam menentukan pembelian panser. Saya tanya sebelum menentukan panser apakah kita sudah mengirim `advance team` apa panser cocok (untuk medan dan iklim Lebanon-red)," katanya. Namun, dikatakannya, Menhan justru mengatakan advance team itu baru dikirim minggu depan untuk melihat medan, cuaca, di Lebanon seperti bagaimana terjalnya gunung. Seharusnya berdasarkan laporan tim pendahulu itu, Menhan baru mengambil langkah-langkah berikutnya, termasuk menentukan peralatan pendukung apa yang paling cocok bagi misi TNI di Lebanon. Persoalan pembelian panser untuk mendukung misi TNI yang menjadi bagian dari pasukan perdamaian PBB di Lebanon itu mencuat setelah hampir seluruh fraksi di Komisi I DPR dalam rapat dengar pendapat dengan pemerintah pada 8 September lalu mempertanyakan rencana pembelian kendaraan angkut personil Perancis itu. Kesimpulan Rapat Komisi I ketika itu meminta pemerintah melakukan proses tender namun Sekjen Departemen Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan, pihaknya tetap akan membeli 32 panser VAB dari Renault Trucks itu tanpa tender karena waktu yang sempit dan mendesak. Indonesia menyiapkan satu batalyon mekanis TNI yang berasal dari TNI Angkatan Darat (652 personel), TNI Angkatan Laut (273), TNI Angkatan Udara (39), Markas Besar TNI (13) dan Departemen Luar Negeri tiga orang sebagai penerjemah untuk mendukung misi PBB di negara yang sebagian wilayahnya porak-poranda akibat invasi Israel itu. Pasukan TNI tersebut semula akan diberangkatkan secara bertahap pada 20 dan 28 September 2006.Namun ternyata pemberangkatan itu diundur hingga bulan Oktober. (*)

Copyright © ANTARA 2006