Sejauh pengalaman kita menerapkan presidensialisme multipartai semenjak 2004, hasilnya justru menarik karena membantah asumsi-asumsi teoritik mengenai kegagalan presidensialisme jika dikombinasikan dengan sistem multipartai,"
Jakarta (ANTARA News) - Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menilai sistem presidensialisme multipartai di Indonesia yang dipraktikkan sepuluh tahun belakangan berjalan efektif dan bisa diteruskan pada periode berikutnya.

"Sejauh pengalaman kita menerapkan presidensialisme multipartai semenjak 2004, hasilnya justru menarik karena membantah asumsi-asumsi teoritik mengenai kegagalan presidensialisme jika dikombinasikan dengan sistem multipartai," kata Ketua DPP PKB M Hanif Dhakiri di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, presidensialisme multipartai berjalan baik karena spirit kebersamaan dan spirit gotong royong begitu kuat dalam politik dan masyarakat Indonesia.

Hanif mengatakan kendati pemerintahan di Indonesia adalah pemerintahan koalisi partai-partai, secara keseluruhan baik-baik saja. Kinerja demokrasi masih bagus, hubungan pemerintah dan DPR juga bagus walaupun sering ada kegaduhan politik dalam wacana media.

"Kinerja pemerintahan secara umum juga masih oke," kata Sekretaris Fraksi PKB DPR itu.

Dalam kajian yang dilakukan DKN Garda Bangsa, organisasi sayap pemuda PKB, ada beberapa faktor yang membuat presidensialisme multipartai di Indonesia berjalan efektif. Pertama, kekuasaan presiden dan DPR dalam konstruksi konstitusi sama-sama kuat.

"Karena sama-sama kuat, maka satu sama lain tidak bisa saling menafikan," kata Ketua Umum Garda Bangsa itu.

Kedua, adanya mekanisme persetujuan bersama antara presiden dengan DPR. Dalam pembahasan RUU baik pemerintah maupun DPR harus terlibat semenjak awal sampai akhir.

"Mekanisme ini memuluskan relasi eksekutif-legislatif karena keputusan tidak bisa diambil sepihak baik oleh presiden maupun DPR," katanya.

Ketiga, organisasi dan proses pengambilan keputusan di DPR, yang sebagian besar mengharuskan keterlibatan pemerintah, selalu membuka jalan bagi terjadinya kompromi antara pemerintah dan DPR. Eksistensi fraksi dan alat-alat kelengkapan dewan (AKD) hampir selalu bisa menjembatani konflik antara eksekutif dengan legislatif.

Keempat, adanya tradisi konsensus dalam pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan lebih banyak didasarkan pada musyawarah mufakat, jarang sekali dilakukan voting atau pemungutan suara.

"Kalaupun terpaksa dilakukan voting, maka basis votingnya adalah fraksi, bukan suara individu anggota," katanya.

Kelima, kapasitas kelembagaan DPR yang memang masih berada di bawah kapasitas kelembagaan eksekutif. Hal ini membantu melancarkan agenda pemerintah ke DPR. Keenam, adanya forum lobi dan konsultasi sebagai mekanisme informal, yang menjembatani konflik-konflik ranah formal dalam proses pengambilan keputusan.

"Beberapa faktor tersebut memungkinkan relasi eksekutif-legislatif di Indonesia berjalan lebih mulus dan efektif dibanding negara-negara lain seperti di Amerika Serikat atau Amerika Latin," katanya.(*)

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014