Jakarta (ANTARA News) - Ketua DPP PKB M Hanif Dhakiri menilai koalisi yang efektif bukan tergantung gemuk atau ramping posturnya, namun tergantung soliditas koalisi itu.

"Mau koalisinya gemuk ataupun ramping, sejauh sifatnya solid, hal itu akan mengefektifkan jalannya pemerintahan koalisi dan mengokohkan presidensialisme," kata Hanif di Jakarta, Sabtu.

Menurut dia, Brasil di era pemerintahan Presiden Luiz Inacio Lula da Silva yang didukung koalisi gemuk dengan dukungan parlemen sekitar 85 persen, berjalan aman tanpa mengganggu presidensialisme.

Demikian juga dengan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga termasuk koalisi gemuk dengan dukungan DPR sekitar 75 persen, berhasil menunjukkan performa yang baik, ujarnya.

"Relasi eksekutif-legislatif secara umum aman-aman saja, kinerja demokrasi dan pemerintah juga masih oke," kata Sekretaris Fraksi PKB DPR itu.

Menurut dia, secara umum kinerja pemerintahan koalisi SBY dalam bidang ekonomi juga masih baik. Ketika SBY naik jadi presiden tahun 2004, pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,03 persen.

Pada kurun 2005-2013 pertumbuhan ekonomi nasional mengalami fluktuasi tetapi secara umum berada di atas angka awal ketika SBY naik menjadi presiden. Angka terendah adalah tahun 2006 sebesar 5,51 persen dan tertinggi 6,5 persen pada 2011.

"Jadi, pemerintahan SBY yang notabene adalah pemerintahan koalisi harus diakui tetap performed dari segi kinerja ekonomi," kata Hanif.

Lebih lanjut Hanif mengatakan, kalau pun calon presiden periode lima tahun ke depan menginginkan koalisi ramping, maka agar pemerintahannya efektif setidaknya harus memiliki dukungan 50 persen plus 1 di parlemen.

Hanif menilai koalisi ramping bukan jaminan bagi efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, bahkan berpotensi merugikan jika soliditasnya kurang mantap karena jumlah dukungan parlemen yang dimiliki pas-pasan.

Berbeda dengan koalisi gemuk atau koalisi besar, ujarnya. Menurut dia, seandainya ada anggota koalisi yang "bandel" maka pemerintahan koalisi masih bisa memenangkan dukungan mayoritas di DPR karena cadangan dukungan yang besar.

"Kalau koalisi besar kehilangan sebagian kecil dukungannya di DPR mereka masih bisa menang. Tapi kalau koalisi yang ramping kehilangan sedikit dukungannya di parlemen, mereka pasti lewat dan kalah dengan kekuatan nonpemerintah di badan legislatif," katanya.

Hanif pun menyatakan kurang setuju dengan anggapan koalisi gemuk hanya sekadar bagi-bagi kekuasaan yang berakibat kinerja kabinet kurang optimal karena pos-pos kementerian merupakan hasil negosiasi politik presiden dengan partai-partai yang menjadi mitra koalisinya.

"Secara umum, kalau pun anggapan itu benar, yang dianggap lemah itu bukan saja kementerian yang diserahkan kepada partai politik, melainkan juga kementerian yang dipegang oleh kalangan profesional nonpartai. Tapi tentunya kita harus teliti lebih lanjut kasus per kasus dari kinerja masing-masing kementerian," katanya.

Hanif menegaskan sistem presidensialisme yang diterapkan di Indonesia berada dalam konteks politik birokrasi pascaera otoritarianisme Orde Baru, di mana birokrasi sudah sedemikian terpolitisasi dan menjadi kekuatan politik tersendiri.

Kekuatan birokrasi begitu kuat dan mencengkeram seluruh jejaring departemen pemerintah. Menteri dari partai ataupun nonpartai yang menjadi bagian dari sistem presidensialisme baru tidak bisa secara otomatis mengarahkan atau mengubah kinerja birokrasi agar selaras dengan agenda presiden, ujarnya menjelaskan.

"Tidak jarang para anggota kabinet itu justru dijebak dan disandera oleh politik birokrasi yang pada gilirannya membuat kinerja kementerian kurang optimal," katanya.


Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2014