Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis, menolak permohonan anggota DPR RI dari Partai Amanat Nasional (PAN), Djoko Edhi Soetjipto Abdulrahman, yang meminta, agar recall atas dirinya dari parlemen oleh partainya tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, karena bertentangan dengan UUD 1945. Djoko Edhi mengajukan judicial review Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD dan DPD, serta judicial review Pasal 12 huruf b UU Nomor 31 tahun 2002 tentang Partai Politik terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kepada Mahkamah Konstitusi. "Dari sejumlah pertimbangan hukum, mahkamah menilai permohonan pemohon tidak berdasar, oleh karena itu, maka permohonan tersebut ditolak untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Jimly Asshidiqie, dalam persidangan yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi Jakarta. Majelis menjelaskan pemohon dalam permohonannya menyatakan bahwa Pasal 85 ayat (1) huruf c UU No.22 tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 22 E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. "Sementara itu Pasal 12 huurf b UU No.31 tahun 2002 oleh pemohon dinilai bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945," kata Jimly. Dalam pertimbangan hukumnya, penolakan mahkamah konstitusi atas permohonan Edhi tersebut, antara lain recall yang dilakukan oleh partai politik terhadap anggota karena dinilai melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai, selama dilakukan secara proporsional adalah hal yang wajar. "Jika anggota terpilih kemudian menyimpang dari kebijakan partai politik adalah wajar bila dilakukan recall namun secara proporsional, karena ketika seseorang itu memilih memasuki partai, secara sukarela ia menaati aturan yang ada, demikian juga secara konsekuen harus menerima sanksi yang diberikan padanya," kata majelis. Meski demikian, majelis hakim MK menilai anggota yang terpilih juga perlu dilindungi dari sanksi yang dijatuhkan secara sewenang-wenang, oleh karena itu sudah seharusnya setiap partai politik menyediakan forum dan merumuskan mekanisme secara internal. Sementara itu, mengenai pendapat pemohon yang menyatakan bahwa dua pasal tersebut di atas bertentangan dengan Pasal 22 E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, majelis menilai bahwa pasal dalam UUD 1945 itu mengatur tentang norma, azas, periodesasi, serta tujuan pemilu. "Pemilihan umum dilangsungkan setiap lima tahun sekali untuk memilih anggota legislatif dan juga Presiden serta Wakil Presiden, namun itu bukan berarti selama lima tahun tidak ada perubahan. Sementara Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 tidak memiliki pengertian digunakan untuk menjamin agar seseorang yang telah menduduki jabatannya tidak dapat diganti," kata Maruarar Siahaan, salah seorang hakim konstitusi saat membacakan putusan. MK berpendapat recall tetap merupakan bagian dari demokrasi. Selain itu apabila recall dinilai sebagai suatu konsekuensi logis dari sistem yang dianut oleh konstitusi, bila terjadi penyimpangan jangan sistem yang dikorbankan namun pelaksanaannya yang harus diperbaiki. Dengan sejumlah alasan tersebut, maka MK menolak permohonan Djoko Edhi secara keseluruhan. Dari sembilan hakim konstitusi yang memutuskan perkara itu, terdapat empat hakim yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Keempat hakim tersebut adalah Abdul Mukhtie Fadjar, Maruarar Siahaan, Jimly Asshidiqie dan Laica Marzuki. Abdul Mukhtie Fadjar dalam (dissenting opinion)nya menyatakan bahwa pelaksanaan recall tidak menjamin terlaksanannya prinsip due proccess of law. Ia membandingkan dengan kondisi bahwa Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh partai politik, namun setelah terpilih melalui pemilu, Parpol tidak dapat serta merta menarik dan mengganti Presiden maupun Wakil Presiden. "Oleh karenanya, hak recall yang subjektif harus dihilangkan dari UU Parpol," katanya. Sementara itu, Maruarar Siahaan dan Jimly Asshidiqie dalam (dissenting opinion)nya menyatakan, meski hubungan antara calon dengan partai politiknya bersifat hukum private, namun setelah calon itu menjadi anggota DPR ada pergeseran menuju hubungan hukum publik. "Bila alasan Parpol untuk melakukan recall hanya semata-mata karena melanggar AD/ART, seharusnya recall itu harus melalui proses hukum," menurut mereka. Sedangkan, Laica Marzuki dalam pendapat berbedanya menyatakan bahwa UUD 1945 tidak secara tegas memberikan hak recall pada partai politik. Dengan pemilu legislatif yang menggunakan sistem proporsional daftar calon terbuka maka parpol tidak dapat melakukan recall. "Recall yang dilakukan berarti mengabaikan pilihan rakyat," ujarnya. Menanggapi putusan MK tersebut Djoko Edhi menyatakan ia sedih. Namun, ia menjelaskan, pihaknya dapat menerima hal tersebut, terlebih putusan terhadap kasusnya terdapat dissenting opinion antara lima hakim konstitusi berbanding empat hakim konstitusi. "Saya sedih, namun inilah demokrasi," katanya. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006