Singapura (ANTARA News) - Anggota Komisi I DPR, Suripto, menyatakan pemerintah Indonesia sudah seharusnya dapat membantu memberikan akses kepada Ny Mira Agustina, istri Umar Al-Faruq yang dituduh CIA (badan intelijen AS) dan pihak Barat terlibat jaringan terorisme dan kemudian dikabarkan telah tewas tertembak, untuk mewujudkan keinginannya memastikan bahwa yang dikabarkan tewas itu adalah benar suaminya. "Seharusnya pemerintah Indonesia bisa membantu (keinginan Mira Agustina) itu, khususnya kepada pihak-pihak yang menahan Al-Faruq," katanya kepada ANTARA di Singapura, Jumat. Ditemui disela-sela kegiatan diskusi, ia mengemukakan bahwa sebagai warga negara Indonesia (WNI), Mira Agustina berhak mendapatkan bantuan pemerintah dan negara untuk keinginannya itu, terlebih hal itu terkait dengan aspek kemanusiaan, yakni harapan untuk mendapatkan pemastian bahwa yang dikabarkan tewas itu adalah benar suaminya. "Keinginan semacam itu lumrah dan lazim saja, dan harusnya pemerintah Indonesia tidak mempunyai kesulitan untuk dapat membantu," kata Suripto, yang juga Ketua Badan Penasihat Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi) itu. Lesperssi adalah sebuah lembaga kajian dan riset mengenai studi konflik dan resolusi konflik, baik nasional maupun internasional. Dikemukakannya bahwa akses-akses lainnya yang bisa dilakukan pemerintah, guna memastikan apakah benar Al-Faruq telah tewas adalah seperti laporan pemeriksaan medis dari pihak yang menahan. "Pasti `kan ada hasil otopsi dan pemeriksaan medis, dan untuk informasi semacam itu bisa dipakai jalur diplomatik dan kerjasama intelijen," kata Suripto. Sosok Umar Al-Faruq yang diberi label oleh Barat dan oleh majalah berita "Time" dilaporkan sebagai pemimpin jaringan Al Qaidah pimpinan Usamah bin Ladin di Asia Tenggara, hingga kabar kematiannya dilaporkan Senin (25/9) tewas dalam satu serangan dini hari oleh sekitar 200 tentara Inggris di kota terbesar kedua Irak, Basrah, memang misterius. Tak kalah misteriusnya, adalah kabar sebelumnya bahwa Al-Faruq dilaporkan berhasil melarikan diri dari penjara Baghram, Afghanistan, yang dijaga "super ketat" ribuan tentara AS, pada awal September 2005. Al-Faruq, juga disebut berkebangsaan Kuwait, dan kemudian menikah dengan Mira Agustina, warga Cijeruk, Bogor, pada 26 Juli 1999. Bukan WNA Namun, Mira Agustina membantah bahwa Al-Faruq warga asing, karena memiliki identitas dan dokumen resmi, mulai dari kutipan akta kelahiran, paspor, KTP, kartu keluarga dan kutipan akta nikah, yang dikeluarkan pemerintah Indonesia. Dalam penjelasan kepada pers di Jakarta, Kamis (28/9) bersama kuasa hukumnya, Eggi Sudjana, dalam dokumen tersebut nama yang tertulis adalah Mahmud bin Ahmad, kelahiran Masohi, Maluku Tengah pada 24 Mei 1971, anak dari Ahmad Assagaf dan Aisyah, dengan KTP beralamat di BTN Kebun Cengkeh, Blok 04 nomor 02, RT04/RW05, Desa Batu Merah, Sirimau, Ambon. Meski nama yang tertera bukan Umar Al-Faruq, namun semua fotonya adalah wajah Umar Al-Faruq yang selama ini dikenal. "Sejak menikah namanya adalah Mahmud Ahmad, dan sebutan Al-Faruq itu adalah panggilan sayang saya kepada dia," kata Mira Agustina. Dalam wawancara dengan ANTARA, Mira Agustina menyatakan keinginannya untuk mendapat akses guna memastikan kebenaran kematian suaminya itu. "Kalau ada lembaga seperti Palang Merah, tentu saja saya mau untuk bisa melihat apakah benar yang diberitakan tewas itu adalah suami saya, Umar Al Faruq," katanya saat ditemui di kediamannya, Kampung Cijambu, Desa Cisalada, Kecamamatan Cijeruk di perbatasan Kabupaten Bogor-Sukabumi, Selasa (26/9) pagi. Ia pernah berhubungan dengan Palang Merah Antarbangsa (ICRC), ketika menerima secara resmi surat pemberitahuan yang mengabarkan bahwa suaminya melarikan diri dari penjara Baghram, Afghanistan, yang dijaga "super ketat" ribuan tentara AS, pada awal September 2005. Kabar lolosnya Al Faruq dibawa oleh tim ICRC yang berkunjung ke rumah Mira Agustina Bogor pada 11 Juli 2005, namun istri Umar Al Faruq itu baru menerima pemberitahuan dimaksud pada awal September 2005. Dengan alasan rahasia, Mira tidak diperkenankan untuk memegang (menyimpan) surat tersebut, tetapi hanya melihatnya saja, sedangkan kabar terakhir dari Al Faruq diterima Mira pada 4 Juni 2005. Sementara itu, baik Palang Merah Indonesia (PMI) maupun ICRC, sampai saat ini menyatakan belum mendapat permintaan dari Mira Agustina untuk meminta bantuan guna kepentingan dimaksud. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PMI, Iyang D Sukandar dalam penjelasannya kepada ANTARA mengatakan, pihak keluarga Umar Al Faruq dapat meminta PMI dan ICRC untuk menjadi mediator agar dapat melihat jenazah atau membawa pulang jenazah Al-Faruq. Hal tersebut dimungkinkan karena antara lembaga Palang Merah Internasional dengan organisasi Palang Merah di berbagai negara memiliki kerjasama termasuk pencarian orang yang hilang dan penghubung antara korban atau tawanan perang dengan keluarganya melalui program "Tracer and Mailing Service" (TMS). "Pihak keluarga bisa saja mengajukan surat permintaan melalui Palang Merah Indonesia atau kepada pihak ICRC yang memiliki perwakilan di Jakarta," katanya. Ia menjelaskan bila telah ada permintaan resmi dari pihak keluarga kepada PMI, pihaknya akan berkoordinasi dengan ICRC karena jenazah Al Faruq berada di luar Indonesia. "Tentunya demi kemanusiaan, kita akan lakukan itu bila ada permintaan. Tetapi tetap kita akan hubungi ICRC untuk hal itu karena si korbannya sendiri kan ada di Irak bukan di Indonesia, ICRC yang memiliki otoritas lebih luas ke sana," kata Iyang D Sukandar. Belum ada permintaan Sedangkan Koordinator Komunikasi ICRC Jakarta, Marcal Izard, menyatakan bahwa pihaknya belum menerima permintaan apa pun dari Mira Agustina. "Hingga kini belum ada permintaan apa pun dari istrinya maupun pihak keluarga. Kalaupun ada permintaan, itu harus dianalisa dulu oleh kantor pusat ICRC di Jenewa," katanya. ICRC belum dapat menentukan sikap terkait dengan upaya pemulangan jenazah Al Faruq ke Indonesia karena belum ada permintaan resmi dari pihak keluarga. Namun, ICRC selalu mengunjungi Al Faruq selama ditahan di penjara Baghram, Afghanistan, dan bahkan menjadi fasilitator "hubungan keluarga" antara dirinya dengan istrinya sampai dia dikhabarkan melarikan diri dari penjara itu sekitar Juli 2005, katanya. "Kami mengunjungi Al Faruq di Baghram secara teratur antara 2004-2005 hingga dia melarikan diri dari penjara itu... Setidaknya dia dan istrinya saling berkirim surat hingga enam kali selama periode itu," kata Marcal Izard. Dalam perkembangan lain, Pemerintah Indonesia telah mengirim tim khusus ke Irak untuk melakukan verifikasi terhadap jenazah Umar Al Faruq itu. "Pemerintah Indonesia yakin, kemungkinan besar 99 persen itu adalah Umar Al Faruq, namun belum ada hitam di atas putih," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Departemen Luar Negeri (Deplu) Imron Cottan. Untuk memperoleh kepastian itu, kata dia, Pemerintah Indonesia mengirimkan tim khusus ke Irak untuk memastikan dan memberi informasi ke keluarga. (*)

Copyright © ANTARA 2006