Godzilla (2014) mencoba mengembalikan jati diri dan mengadopsi desain asli Studio Toho, Jepang.
Jakarta (ANTARA News) - Setelah membuat penasaran para penggemarnya lewat trailer, film raja monster Godzilla akhirnya diputar di bioskop-bioskop di Indonesia pada pertengahan bulan ini.

Film karya sutradara Gareth Edward ini menghabiskan biaya mencapai 160 juta dolar AS dan merupakan film kedua Godzilla dalam versi Hollywood.

Berbeda dengan film Godzilla (1998) versi Roland Emmerich, yang disebut-sebut sebagai film gagal, Godzilla (2014) mencoba mengembalikan jati diri dan mengadopsi desain asli Studio Toho, Jepang.

Edward sebelumnya sukses menyutradarai film berbiaya rendah--sekitar 800.000 dolar--berjudul Monster. Ia kini dipercaya untuk menghabiskan logistik yang berlipat-lipat untuk menghadirkan "kengerian" dan "keangkeran" sang raja monster ke hadapan penonton.

Film dibuka dengan sosok Godzilla yang menyapa penonton dalam prolog berupa cuplikan-cuplikan film hitam-putih tentang percobaan bom nuklir dengan setting tahun 1950-an.

Cerita kemudian melompat ke tahun 1999, di mana ilmuwan Dr. Ichiro Serizawa, diperankan oleh Ken Watanabe, dan Vivienne Graham (Sally Hawkins) menemukan fosil monster raksasa setelah mengikuti jejak radiasi di sebuah tambang di Filipina.

Kedua ilmuwan mendapati bahwa ada sosok yang telah bangun dari tidur panjang di tempat mereka menemukan fosil raksasa tersebut. Adegan pembuka yang cukup berhasil membuat penonton "yakin" bahwa mereka benar-benar sedang menyaksikan film tentang monster yang menjanjikan.

Bencana kemudian mengarah ke Jepang, di mana ilmuwan Amerika Joe Brody, diperankan oleh Bryan Cranston (bermain di film Argo dan film Contagion), mencoba menyelamatkan pembangkit listrik tenaga nuklir dari ancaman gempa yang "aneh" menurut dia.

Joe harus menghadapi fakta pahit setelah istrinya, yang juga ilmuwan dan bekerja di tempat yang sama, Sandra Brody, diperankan oleh Juliette Binoche (film Paris, jetaime, film Cosmopolis), tewas karena kebocoran pembangkit setelah gempa besar terjadi.

Lima belas tahun kemudian, putra dari Joe, Sam Brody, diperankan oleh Aaron Taylor-Johnson, menjadi tokoh sentral film ini. Pemeran film Kick-Ass tersebut tampak melatih tubuhnya untuk memerankan seorang tentara AS spesialis penjinak bom, tidak lagi terlihat kurus seperti di film dia sebelumnya.

Setelah mengemban tugas negara dan kembali berkumpul bersama istri Elle Brody (Elizabeth Olsen) dan putranya di San Fransisco, Sam harus menjemput ayahnya yang membuat ulah di Jepang. Dia ditangkap karena melanggar batas zona karantina nuklir.

Joe meyakinkan putranya bahwa kecelakaan lima belas tahun yang lalu tersebut menyimpan rahasia besar dan pemerintah setempat berusaha menutupinya.

Sang ayah dan putranya, setelah menerobos zona karantina sekali lagi,mendapati bahwa di dalam zona karantina tidak terdapat jejak radiasi nuklir, namun justru mereka menemui operasi rahasia di bekas fasilitas pembangkit nuklir tempat sang ayah dulu bekerja.

Dr. Serizawa menjadi kepala penelitian di tempat tersebut. Dan apa pun itu yang mereka teliti, ditakuti karena bisa mengirim dunia yang ada sekarang kembali ke jaman batu.

Godzilla, yang di gambarkan sebagai predator alfa purba, pun terbangun dari tidur panjangnya karena merasakan ancaman yang hadir dari "peliharaan" Dr. Serizawa.



Datar

Selama 90 menit pertama film, sang sutradara lebih banyak menyajikan narasi untuk membangun cerita dan menjelaskan latar belakangnya namun terasa semrawut, lambat dan kurang bisa membawa emosi penonton ke dalam film.

Sangat disayangkan karena tidak ada kedalaman emosi di antara pemeran utamanya. Naskah yang kurang tergali serta akting yang datar dari Aaron Taylor-Johnson kurang bisa mengeksekusi perannya sebagai tokoh sentral film tersebut. Elizabeth Olsen pun tak banyak membantu sebagai tokoh utama wanita.

Selain itu, Ken Watanabe, yang tampil apik dalam sejumlah film seperti Inception dan the Last Samurai, terasa hambar memerankan sosok Dr. Serizawa karena lebih banyak berakting tercengang daripada hadir sebagai ilmuwan yang berkarisma dan memberikan referensi yang memuaskan untuk membangun cerita film.

Satu-satunya penampilan yang hangat dan mengaduk emosi penonton dalam film ini ditampilkan oleh Bryan Cranston dan Juliette Binoche ketika memerankan pasangan ilmuwan Joe dan Sandra Brody. Itu pun hanya di bagian awal film, karena keduanya meninggal setelahnya.

Berkat penulis naskah Dave Callaham (dua film Expendables dan Doom), selain dialog yang datar, absennya unsur humor dan momentum penting dalam alur cerita pun memaksa penonton untuk melihat berkali-kali ke arlojinya.



Kembali ke desain awal

Namun, Sutradara Gareth Edward menjanjikan Godzilla yang orisinal, berbeda dari monster milik Emmerich yang disebut-sebut mirip "kanguru yang malu-malu". Ia memilih untuk mengadopsi desain aslinya, berpostur tegak dengan moncong lebar dan sirip punggung seperti stegosaurus.

Kemunculan sang monster ketika adegan di Hawaii pun digambarkan membawa bencana tsunami kepada daratan yang didatanginya, memaksa para penduduk untuk berlarian menghindari terjangan gelombang tsunami.

Namun demikian, unsur teror dan kengerian sebuah film monster kurang tereksekusi dengan baik oleh sang sutradara. Serangan monster di film Cloverfield (2008) besutan Matt Reeves lebih menegangkan dan brutal daripada di film Godzilla kali ini.

Tidak seperti film monster karya Guillermo del Toro, Pacific Rim, yang memanjakan penontonnya dengan adegan pertarungan kaiju dari awal hingga akhir film, Godzilla kali ini terkesan pelit menyajikan buasnya pertarungan monster.

Tema besar Godzilla kali ini sebenarnya adalah tentang bahaya limbah nuklir bagi umat manusia dan lingkungan hidup, di mana disimbolkan dengan kedatangan monster yang mengonsumsi radiasi nuklir sebagai makanannya.

Dalam film tersebut, sang monster digambarkan sebagai makhluk purba penghuni planet bumi. Kedatangan sang monster semata-mata karena insting mereka untuk hidup dan berkembangbiak, bukan mencari kehancuran peradaban manusia.

Sang sutradara di film tersebut menyelipkan pesan tentang pentingnya menjaga lingkungan dari pencemaran demi kelangsungan hidup manusia dan planet bumi.

Akan tetapi, film tentang monster seharusnya terasa "indah" dan bisa dinikmati penontonnya, yang berasal dari kalangan anak-anak hingga orang dewasa, terlepas dari adegan kehancuran yang ditampilkan.

Adegan yang paling mengenang di film tersebut kiranya adalah ketika pasukan tentara AS melakukan terjun payung dari ketinggian 30.000 kaki menembus awan gelap, kemudian tampak sosok raksasa Godzilla yang kelilingi debu dan kegelapan sebagai latar belakangnya. Persis seperti apa yang disajikan di trailer-nya.

Edward, di sisi lain, berhasil mengembalikan keagungan dan kemegahan sang raja monster versi Toho di hadapan para penggemar fanatiknya.

Apakah Godzilla itu sosok baik atau jahat? "Itu sama dengan bertanya apakah badai itu baik atau jahat," kata Edward kepada Wired.com.

Godzilla, digambarkan sebagai sosok monster "anti-hero", namun kurang mendapatkan porsi yang lebih untuk pamer kekuatan di depan para penggemarnya, walaupun adegan pertarungannya dieksekusi dengan apik oleh sang sutradara lewat gambar komputer grafis dengan latar yang kelam.

Penonton harus bersabar menonton Godzilla kali ini mengingat aksi sang raja kaiju disimpan oleh sang sutradara dan baru akan unjuk gigi dan mengeluarkan nafas apinya pada seperempat bagian terakhir film.

Setelah dimanjakan rangkaian pertarungan berskala besar di Pacific Rim pada pertengahan tahun lalu, penonton Godzilla kali ini pantas kiranya di tengah-tengah bagian film berteriak, "hei, kami ingin lihat monsternya segera...".

(A059)

Pewarta: Aditya E.S. Wicaksono
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014