Jakarta (ANTARA News) - Kebijakan energi di Indonesia dinilai tidak konsisten dan bersifat ad hoc, sehingga masalah kelangkaan energi sering terjadi dan berulang. Akibatnya, Indonesia terkena dampak paling besar dari kenaikan harga minyak dunia. "Masalah energi di Indonesia itu masalah klasik, ada harga-harga yang terdistorsi akibat kebijakan energi yang tidak pernah ada konsistensi," kata Pengamat Ekonomi yang juga Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Hadi Soesastro, di Jakarta, Minggu. Ia mengatakan kebijakan energi yang tidak konsisten terutama terlihat dari diamandemennya Undang-Undang (UU) Migas yang hingga kini belum selesai. Menurut dia, dalam UU Migas sebenarnya telah diarahkan agar subsidi BBM secara bertahap dilepas. Namun pada 2003 Pemerintahan Megawati menghentikan proses penurunan subsidi, sehingga Pemerintahan Presiden Yudhoyono mendapat beban penurunan subsidi yang berat dan dampaknya begitu besar, bahkan belum bisa hilang sampai sekarang. Hadi juga menilai kebijakan melepaskan subsidi BBM secara bertahap sangat penting untuk menciptakan ekonomi yang sehat di dalam negeri, karena dunia usaha dan konsumen dihadapkan pada realitas harga yang sesungguhnya dan Pertamina bisa lebih sehat. "Jadi biarkan harga itu mencerminkan harga pasar, tetapi mereka yang tidak mampu diberi bantuan langsung agar bisa mampu, bukan dengan mendistorsi harga," katanya. Ia mengatakan konsumsi BBM yang boros saat ini juga terjadi karena pemerintah melakukan subsidi, sehingga harga menjadi rendah dan pemakaian BBM tetap besar. Hal yang sama, lanjut dia, juga perlu dilakukan untuk energi lainnya, seperti listrik, gas, maupun batubara, agar tidak diberikan subsidi. Ia mencontohkan kebijakan mensubsidi gas untuk industri pupuk agar harga pupuk murah juga tidak sehat. "Kalau mau subsidi berikan langsung ke petani. Kalau subsidi gas ke produsen akan mengganggu proses produksi, karena perusahaan yang menanggung subsidi, padahal seharusnya pemerintah melalui budget yang dihitung lebih transparan." Hadi juga mengatakan sebenarnya pengalihan penggunaan energi, terutama untuk PLN dari BBM ke gas untuk pembangkit listrik, sudah diputuskan sekitar 10 sampai 15 tahun lalu. Namun hal itu tidak berjalan optimal, karena selain tidak ada konsistensi, juga tidak didukung oleh kebijakan baru yang mendorong produksi gas. "Kemudian pada suatu hari ketika ada peningkatan produksi batu bara, berubah lagi jadi batu bara. Jadi tidak pernah ada konsistensi," ujar Hadi yang pernah melakukan penelitian khusus mengenai energi. (*)

Copyright © ANTARA 2006