Jakarta (ANTARA News) - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak menyatakan pendapat (discalimer) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2005, karena adanya kelemahan signifikan dalam LKPP itu, seperti kelemahan dalam desain dan implementasi sistem pengendalian intern dan berbagai ketidakpatuhan terhadap peraturan perundangan. "Karena kelemahan-kelemahan sistem pengendalian intern dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundangan serta adanya pembatasan dalam pemeriksaan penerimaan pajak, BPK tidak dapat menerapkan prosedur pemeriksaan untuk memperoleh keyakinan yang memadai atas kewajaran LKPP tahun 2005, sehingga tidak memungkinkan BPK untuk memberikan pendapat, dan BPK tidak menyatakan pendapat atas LKPP tahun 2005," kata Ketua BPK, Anwar Nasution, di Gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa. LKPP tahun 2005 merupakan pertanggungjawaban pemerintah pusat atas pelaksanaan APBN tahun anggaran 2005. Sesuai dengan UU nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 36 tahun 2004 tentang APBN 2005, LKPP itu harus diperiksa oleh BPK sebelum pemerintah menyampaikan LKPP itu ke DPR dalam bentuk RUU Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN. Tujuan pemeriksaan atas LKPP adalah untuk memberikan opini apakah LKPP tahun 2005 bebas dari salah saji yang material dan secara wajar menggambarkan realisasi APBN tahun anggaran 2005 dan posisi keuangan pemerintah per 31 Desember 2005 sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah. Pemeriksaan BPK atas LKPP 2005 tidak termasuk pemeriksaan atas penerimaan pajak yang mencakup sekitar 70 persen dari pendapatan negara. Akses BPK pada pemeriksaan pajak dibatasi oleh UU 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Perpajakan dan Tata Cara Perpajakan maupun PP mengenai perpajakan. Pembatasan itu mengakibatkan BPK tidak dapat meyakini kewajaran penerimaan pajak. Kelemahan sistem pengendalian intern meliputi antara lain prosedur pencatatan dan pelaporan realisasi penerimaan perpajakan sebesar Rp347,03 triliun atau 70 persen dari pendapatan negara sebesar Rp493,92 triliun, tidak memadai. Selain itu, pencatatan dan pelaporan investasi jangka panjang tidak memadai, antara lain investasi permanen lainnya di Bank Indonesia sebesar Rp130,23 triliun yang tidak jelas kepastian status hukumnya. Kelemahan pengendalian intern lainnya, terdapat pencatatan dan pelaporan kas dan bank yang tidak memadai atas 1.303 rekening dan deposito senilai Rp8,54 triliun atas nama pejabat pemerintah dan atau instansi yang tidak jelas statusnya. Rekening dan deposito itu terdiri dari 680 rekening giro senilai Rp7,22 triliun dan 623 deposito senilai Rp1,32 triliun. BPK juga menemukan sebanyak 23 rekening giro pemerintah dalam rupiah sebesar Rp2,04 triliun di BI, tidak terjadi mutasi transaksi lebih dari dua tahun. BPK juga menemukan bahwa pemerintah menanggung beban selisih kurs jual dan kurs beli dalam pembayaran utang luar negeri dalam bentuk valas sebesar Rp511,68 miliar selama 2005 dan membayar realisasi belanja sebesar Rp37,94 miliar untuk membayar commitment fee atas perjanjian pinjaman luar negeri yang belum dimanfaatkan. (*)

Copyright © ANTARA 2006