Semarang (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diharapkan agar menanggapi secara serius rekomendasi panitia kerja (Panja) Penegakan Hukum dan Pemerintah Daerah (PHPD) DPR, untuk menghindari kemungkinan adanya risiko politik karena mengabaikan rekomendasi itu. Demikian disampaikan Wakil Ketua Panja PHPD, Priyo Budi Santoso, di sela-sela acara Safari Ramadhan Ketua DPR Agung Laksono, di Semarang, Senin pagi. "Presiden perlu sungguh-sungguh mendengarkan rekomendasi DPR kali ini," kata Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar (FPG) itu. Menanggapi seruan sejumlah LSM agar Presiden mengabaikan panja PHPD, Priyo menyatakan seruan itu tidak berdasar. "Itu keliru. Mereka tidak tahu masalah dengan meminta Presiden mengabaikan DPR. Silahkan saja Presiden mengabaikan, tapi saya mengingatkan ini bahaya kalau dibiarkan," katanya. Sebelumnya, Minggu (8/10), seusai memberikan bantuan air bersih dan dialog dengan masyarakat Pemalang, Jawa Tengah, Agung mengatakan bahwa tidak ada intervensi politik terhadap penegakan hukum dengan dibentuknya panja PHPD. "Kami hanya mencari keadilan. Tidak untuk melakukan intervensi proses hukum. Tidak meminta dihentikannya proses hukum yang sudah berjalan, tapi mendudukkan persoalan sebagaimana mestinya," kata dia. Menurut Agung, telah ada keputusan Mahkamah Agung yang membatalkan PP 110/2001 tentang ketentuan penyusunan APBD, sehingga jangan lagi PP itu digunakan sebagai dasar hukum. Anggota Panja PHPD, yang juga anggota Komisi II DPR dari FPG, Mudjib Rohmat, juga mengkritisi langkah penegak hukum terhadap anggota DPRD terkait dugaan kasus korupsi APBD. "Ada kesan kejar target saja," kata Mudjib Rohmat. Demikian juga terkait penyusunan APBD. "Dibahas, disepakati bersama dengan bupati, yang tandatangan bupati. Kalau memang salah, tanggung renteng, dong," kata Mudjib. Sementara yang terjadi selama ini memperlihatkan adanya diskriminasi. Dibatalkan Priyo menyatakan penerapan PP 110 tidak relevan karena telah dibatalkan oleh MA. "PP 110 masih digunakan, padahal itu telah dinyatakan batal oleh MA. Sedangkan PP 105 masih berlaku, tapi ditujukan untuk eksekutif," kata Priyo. bada bagian lain, Priyo mengatakan bahwa perlakuan aparat penegak hukum juga memperlihatkan sikap yang over reaktif dan bahkan ada kesan kuat melakukan politisasi kasus tersebut. "Pada beberapa kasus bahkan terjadi komersialisasi jabatan. Ada yang dijadikan ATM hidup," katanya. Dia juga menyebutkan bahwa yang terlihat saat ini dalam proses penegakan hukum adalah upaya mengejar setoran, pertunjukan penegakan hukum secara kuantitatif dengan membidik para anggota DPRD. "Sebagian besar hanya karena kesalahan administrasi," katanya. Dia mencontohkan penggunaan anggaran untuk penanganan bencana. "Ada plafon anggaran untuk pembangunan sektor pariwisata setempat. Terjadi bencana, kemudian anggaran itu digeser untuk penanganan bencana, karena dana dari pusat belum turun," katanya. "Kalau pemerintah tidak segera cari jalan keluar, akan terjadi dua kemungkinan. Pertama apatisme, sehingga ada kekhawatiran dalam menyusun APBD. Kedua, timbul perasaan umum kecewa yang bersifat masif, seperti jangan-jangan ada skenario dipolitisasi," kata Priyo. Tudingan adanya skenario itu, menurut Priyo, muncul dari kekecewaan para anggota DPRD. "Saya sendiri tidak percaya itu, saya membantah semua sengaja dibiarkan oleh Presiden Yudhoyono," katanya. Munculnya tudingan itu, lantaran ada kader dari hampir seluruh partai besar atau kecil yang terseret menjadi korban, kecuali dari Partai Demokrat (PD). "Karena PD partai baru dan belum ada sebelumnya," ujar Priyo. Terlibatnya kader dari hampir semua parpol, diyakini akan menjadi perhatian agar tidak diabaikannya rekomendasi DPR itu. Saat ini, Panja PHPD tinggal mematangkan rekomendasi yang akan dibawa ke rapat paripurna DPR, Selasa (10/10). Priyo menyatakan keyakinannya, rekomendasi panja akan disepakati dalam rapat paripurna. "Saya yakin sidang paripurna akan ketuk palu," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2006