... justru saya khawatirkan, jika sikap saling klaim ini tidak dikelola secara elegan dan berwibawa, hasilnya malah akan membawa kepada akhir yang destruktif... "
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat politik dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten, Leo Agustino, berpendapat hasil hitung cepat alias quick count lembaga survei yang tidak kredibel pada Pemilu Presiden 2014 merusak publik.

Hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei kali ini, kata dia, di Jakarta, Kamis, menghasilkan perbedaan cukup mencolok.

Hingga pengumuman resmi penghitungan suara Pemilu Presiden 2014 dilakukan KPU pada 22 Juli nanti, belum bisa dikatakan secara pasti dan resmi pasangan pemenang, baik itu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa ataupun Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Namun, Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, langsung tancap gas memaklumatkan kepada publik dalalm konferensi pers, di Kantor DPP PDI Perjuangan, di Kebagusan, Jakarta Selatan, Rabu malam, bahwa Jokowi-Jusuf Kalla-lah pemenangnya.

Dia berbasis penghitungan cepat sejumlah lembaga yang diketahui bukan lembaga resmi penentu hasil penghitungan suara Pemilu Presiden 2014.

Hal ini ditanggapi kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang melakukan hal sama, juga berbasis hitung cepat lembaga-lembaga survei.

Menurut Agustino, lembaga-lembaga survei penghitung cepat sudah terfragmentasi secara tajam ke dalam dua kubu.

"Masalahnya sekarang, masing-masing pasangan mengklaim mereka pemenang. Yang justru saya khawatirkan, jika sikap saling klaim ini tidak dikelola secara elegan dan berwibawa, hasilnya malah akan membawa kepada akhir yang destruktif," katanya.

Pertanyaannya saat ini, dikatakan dia, mana lembaga survei yang bisa dipakai sebagai pegangan masyarakat. Yang pertama, dijelaskan, tentunya lembaga survei yang berpengalaman dan kredibel.

Manakala kredibilitas itu terganggu, maka bisa dikatakan pula independensi dan netralitas lembaga survei itu juga demikian.

Kedua, penarikan sampel yang harus bersifat probability sampling bukan non-probability sampling. Dalam arti kata lain, perbedaan hitungan cepat kemarin boleh jadi karena keteledoran dalam menentukan sampel sesuai kaidah probability sampling itu.

Ketiga, sebaran sampel yang harus merepresentasikan keterwakilan pemilih Indonesia. Tidak bisa lembaga itu hanya mengutip sampel di Jawa dan Sumatera saja, karena pemilih Indonesia bukan hanya dari dua pulau itu.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2014