Jakarta (ANTARA News) - Calon Hakim Agung Achmad Ali sepertinya tidak hanya direpotkan oleh status tersangkanya dalam kasus dugaan korupsi program pasca sarjana Universitas Hasanuddin, tetapi juga oleh kebiasaannya mengirim pesan pendek (SMS). Pada tes wawancara di Gedung Komisi Yudisial (KY) di Jakarta, Selasa, Achmad Ali diminta klarifikasinya oleh Ketua KY Busyro Muqoddas soal laporan masyarakat yang menyebutkan bahwa Achmad Ali pernah mengirimkan pesan pendek kepada seorang jenderal untuk meminta dukungan agar dimuluskan jalannya menjadi Hakim Agung. "Saya minta klarifikasi yang beredar bahwa anda mengirim SMS kepada seorang jenderal yang mengindikasikan anda meminta dukungan agar mulus menjadi Hakim Agung dengan janji anda akan memberikan kompensasi untuk kasus-kasus pelanggaran HAM nantinya," tutur Busyro. Achmad Ali menjawab, dengan terlebih dahulu meminta agar nama jenderal tersebut tidak disebutkan di depan publik. "Kebetulan, jenderal itu teman saya karena hobbi saya karate yang sama dengan dia. Kemudian, jenderal ini punya hubungan dengan seorang petinggi hukum yang juga tidak usah saya sebut namanya," kata Achmad Ali. Ia mengaku mengirimkan 17 SMS kepada jenderal tersebut, namun atas permintaan jenderal itu guna menjelaskan kasus dugaan korupsi yang tengah dihadapinya. Namun, Achmad Ali membantah ia mengirimkan SMS yang menjanjikan memberikan kompensasi atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat. "Saya meminta kepada beliau agar SMSs itu `confidential` sifatnya, bukan untuk disebarkan. Tetapi, kenyataannya SMS itu beredar juga dan saya kecewa. SMS itu isinya penjelasan saya, berdasarkan permintaan dia. Kalau memang akhirnya SMSs itu diteruskan dan disebarkan, bisa saja isinya ditambah-tambah," paparnya. Anggota KY Soekotjo Soeparto juga mempertanyakan kebiasaan Achmad Ali yang gemar mengirimkan SMS panjang kepada para anggota KY. Soekotjo mengaku risi menerima SMS dari Achmad Ali, terlebih lagi karena dirinya adalah panitia seleksi calon Hakim Agung, sedangkan Achmad Ali adalah salah satu calon Hakim Agung. Soekotjo mengaku mendapatkan SMS dari Achmad Ali yang isinya dukungan anggota DPR terhadap Achmad Ali. Namun, ia mengatakan, Achmad Ali tidak pernah mengirimkan SMS yang isinya menjatuhkan peserta calon Hakim Agung lain. "Anda ini sebagai ilmuwan tentunya tahu etika. Di `handphone` saya ini penuh dengan SMS yang datang dari anda. Apa maksud anda mengirim SMS kepada panitia seleksi Hakim Agung? Terus terang, saya risi dengan SMS saudara. Banyak juga SMS yang anda kirimkan dengan tulisan rahasia. Kalau memang rahasia, untuk apa dikirimkan kepada saya," tutur Soekotjo. Achmad Ali menjawab bahwa maksudnya mengirimkan SMS hanya sebatas memberikan informasi. Jika informasi yang dimaksudnya rahasia, Achmad Ali mengatakan, itu hanya untuk konsumsi Soekotjo pribadi, bukan untuk disebarkan kepada publik. Achmad Ali juga diminta klarifikasinya soal laporan pengaduan dari masyarakat yang menyatakan sebagai anggota Komnas HAM, guru besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin itu hanya menerima "gaji buta" alias tidak pernah bekerja. Achmad menjelaskan bahwa Komnas HAM tidak menyediakan akomodasi maupun transportasi untuk dirinya yang berasal dari luar Jakarta. Komnas HAM, menurut dia, hanya menyediakan akomodasi untuk dua hari di Jakarta guna menghadiri rapat paripurna. "Pekerjaan untuk saya dikirimkan ke Makassar dan saya menyelesaikannya di sana. Tidak hanya saya, semua anggota Komnas HAM yang berasal dari luar kota juga begitu," ujarnya. Selain mendapat pertanyaan soal hukum dari tujuh anggota KY, Achmad Ali juga diminta klarifikasinya soal status tersangkanya. Ia menjelaskan, sangkaan korupsi yang dituduhkan kepadanya adalah "error in persona", karena menyangkut pemotongan biaya kuliah program pasca sarjana hukum kepolisan Unhas, sedangkan ia tidak pernah menjadi ketua program tersebut. Sedangkan untuk kasus penyalahgunaan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD), Achmad Ali menyatakan SPPD itu sudah diserahkan kepada tim verifikasi dan bahkan telah diaudit oleh Itjen Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). "Penggunaan SPPD itu sudah diserahkan kepada tim verifikasi dan pertanggungjawabannya sudah diterima. Kalau pun ada masalah, seharusnya bisa diselesaikan secara administrasi," ujarnya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006