Semarang (ANTARA News) - Sekira 35.000 penduduk di Jawa Tengah (Jateng) saat ini terindikasi terjangkit
Tuberculosis (TBC), namun jajaran kesehatan setempat baru bisa memantau dan menangani 50 % dari total jumlah penderitanya, kata Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Jateng, dr. Budihardja.
"Kita memang hanya baru bisa menangani 50 % dari total jumlah penderita TBC yang ada di Jateng, sedangkan 50 %-nya lagi kita tidak bisa memantau, akibat berbagai faktor kesulitan yang dihadapi jajaran kesehatan," ujarnya di Semarang, Minggu.
Menurut dia, perilaku masyarakat yang masih malu jika ketahuan menderita TBC menjadi kendala utama untuk memantau jumlah penduduk yang terkena penyakit TBC, sehingga hingga kini Dinkes Jateng masih belum memiliki data pasti mengenai jumlah penderita TBC di wilayah kerjanya, padahal TBC masuk 10 besar penyakit pembawa kematian di Indonesia.
"Kami memang menghadapi kendala memantau para penderita TBC di Jateng, karena masih ada masyarakat yang malu jika ketahuan mengidap penyakit ini, padahal jika ada warga yang terkena TBC tidak terpantau dan dibiarkan saja, maka bisa menular kepada masyarakat lain di lingkungan sekitarnya. Ini sebenarnya yang cukup berbahaya," ujarnya menegaskan.
Sebenarnya, menurut dia, pemerintah sudah memberikan perhatian serius terhadap penyebaran penyakit TBC, antara lain penderitanya tidak dipungut biaya untuk berobat di rumah sakit pemerintah.
"Paling ampuh lagi, obat yang digunakan untuk mengobati penderita TBC adalah obat terbaik di dunia, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir mengenai kualitas obat yang diberikan secara gratis tersebut," katanya.
Penyebaran virus TBC yang ditularkan melalui manusia di Jateng tidak mengenal wilayah, sehingga semua daerah memiliki potensi sama terhadap penyebaran virus TBC. Hingga kini tidak ada kantong-kantong wilayah endemis TBC, karena penyebarannya hampir merata.
TBC, menurut dia, merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
mycobacterium tuberculosis yang bentuk fisiknya sangat kecil dan tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.
"TBC bukan penyakit keturunan, apalagi penyakit karena guna-guna," katanya.
Cara penyebaran penyakit TBC, menurut dia, dari satu orang ke orang lain melalui udara yang dihirup manusia, yakni apabila penderitanya batuk atau bersin, maka akan mengeluarkan kuman yang bersarang di paru-paru dalam bentuk percikan dahak yang bersifat menulari.
"Jika percikan dahak tersebut dihirup orang lain, maka yang bersangkutan akan tertular TBC," demikian Budihardja. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006