Osaka (ANTARA News) - Menperin Fahmi Idris mengatakan pelaksanaan Perjanjian Kemitraan Ekonomi (EPA) RI-Jepang akan lebih banyak menguntungkan Jepang, sehingga Indonesia akan meminta sejumlah kompensasi atas ketidakseimbangan itu agar keduanya bisa maju bersama dalam hubungan bisnis kedua negara. "Salah satu basis EPA adalah liberalisasi, kalau liberalisasi dijadikan basis, maka hubungan kemitraan akan lebih banyak menguntungkan Jepang dibandingkan kita," ujar Menperin Fahmi Idris, di Osaka, Kamis, ketika ditemui sebelum mengunjungi pabrik baterai Matsushita di Osaka, Kamis pagi. Hal itu, kata dia, karena Jepang memiliki produk berbasis industri dan teknologi yang memang dibutuhkan Indonesia, sedangkan Indonesia memiliki produk andalan pertanian dan kehutanan yang masih mendapat hambatan dan batasan yang ketat di Jepang. Untuk itu, lanjut Fahmi, pihaknya akan meminta Jepang salah satunya mengembangkan pusat petrokimia terutama aromatik di Tuban dan olefin di Banten lebih luas lagi, karena industri tersebut merupakan salah satu industri prioritas yang akan dikembangkan Indonesia sampai 2025. Terkait dengan pengembangan industri petrokimia, pihak Deperin juga akan meminta Jepang mengembangkan "Center of Excellent" untuk pengembangan sumber daya manusia (sdm) di sektor tersebut. "Saya minta ini sebagai 'balance' (keseimbangan) atas katakanlah kerugian dalam tanda petik ketika pengembangan hubungan bisnis yang basisnya liberalisasi (antara Indonesia-Jepang) dijalankan," ujar Fahmi. Oleh karena itu, ia juga mengingatkan agar sebelum ditandatanganinya EPA RI-Jepang yang rencananya akan disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir November 2006 nanti, ada pernyataan bersama ("joint statement") kedua pemerintahan yang menyatakan akan dilakukan langkah bersama agar dampak positif dan negatif EPA bisa dinikmati bersama kedua pihak. "Ketika Presiden (Yudhoyono) menyaksikan penandatangan itu (EPA) harus ada pernyataan bersama yang menyatakan kedua pihak menyadari bahwa realisasi EPA ini membawa dampak positif dan negatifnya dan untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah bersama agar positif dan negatifnya dapat dinikmati secara berimbang," kata Fahmi. Menanggapi pertanyaan mengapa yang diminta pengembangannya petrokimia, bukan otomotif maupun elektronik yang menjadi unggulan ekspor Indonesia, Fahmi mengatakan pengembangan kedua industri sudah sesuai dengan rencana, sehingga pihaknya tidak meminta "kompensasi" lebih jauh untuk pengembangan kedua industri tersebut. Namun sebelumnya Fahmi juga mengatakan akan meminta kalangan industri komponen elektronik di Indonesia untuk masuk dan mengembangkan industri pendukung elektronik tersebut seperti pengembangan industri pendukung otomotif. Hubungan RI-Jepang dalam kerangka EPA, juga dinilainya sangat ironis, karena pada suatu sisi Pemerintah Jepang menginginkan Indonesia membebaskan tarif BM untuk produk dari Jepang, namun untuk produk pertanian dan kehutanan yang dihasilkan Indonesia masih mendapat hambatan. "Jepang seperti yang disampaikan Menteri METI-nya Mr Amari pada intinya meminta pembebasan tarif seperti tarif bea masuk kamera digital, tapi kita mengatakan akan melakukannya secara bertahap sampai 2009. Tapi sebaliknya Jepang belum bisa menerima usulan Indonesia, agar Indonesia bisa meningkatkan hubungan dagangnya dengan Jepang, misalnya soal produk agraria dan sebagainya itu," ujarnya. Namun, ia mengatakan berbagai hal tersebut akan segera diselesaikan pembahasannya di tingkat pejabat senior sebelum EPA ditandatangani ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Jepang yang dijadwalkan pada 26 November 2006 mendatang. Sementara itu, Konjen RI di Osaka, Pitono Purnomo mengatakan sampai saat ini Jepang merupakan negara donor, investor, serta mitra dagang dan industri yang penting bagi Indonesia, namun diakuinya banyak perusahaan Indonesia belum mampu mengikuti perkembangan selera pasar Jepang yang cepat berubah dan konsumennya sangat teliti terhadap kualitas. Kendati demikian, lanjut dia, tren investasi dari Jepang dan ekspor Indonesia ke Jepang terus meningkat. Pada tahun 2005 nilai perdagangan kedua negara mencapai 30,05 miliar dolar AS. Jepang mengimpor berbagai komoditas dari Indonesia sebesar 20,8 miliar dolar AS dan ekspor Jepang ke Indonesia mencapai 9,24 miliar dolar AS. "Surplus Indonesia itu meningkat 22,4 persen dibandingkan surplus tahun 2004 menjadi sebesar 11,5 miliar dolar AS," katanya. Pitono juga mengharapkan peran swasta yang lebih aktif untuk masuk ke pasar Jepang, karena selama ini pesaing Indonesia seperti Cina, Vietnam, dan Thailand, para pengusahanya sangat aktif melakukan penjajakan. "KJRI (Konsulat Jenderal RI) akan membantu memfasilitas termasuk penerjemah," ujarnya. (*)

Copyright © ANTARA 2006