Depok (ANTARA News) - Analis politik dari Universitas Indonesia (UI), Boni Hargens, mengatakan terjadinya ledakan bom di Restoran cepat saji, A&W yang terletak di Jalan Kramat Jati Raya, Jakarta Timur, harus dituntaskan, sebelum kedatangan Presiden Amerika Serikat (AS), George Walker Bush, untuk mengetahui apa motif terjadi meledaknya bom tersebut. Ia mengemukakan dari kejadian bom itu ada dua kepentingan yang "bermain", yaitu yang menolak kedatangan Bush, dan yang menerima kedatangan Bush. "Jika yang melakukan dari pihak yang anti kedatangan Bush, maka tidak pas karena lokasi dan efeknya yang kurang tepat," katanya ketika dihubungi ANTARA, di Depok, Senin. Dari kedua kepentingan, menurut dia, yang paling mungkin adalah, adanya upaya "pembenaran" yang dilakukan pihak tertentu yang menginginkan bahwa biaya pengamanan Bush sebesar Rp6 miliar memang sangat dibutuhkan. "Ini sangat logis karena biaya pengamanan yang cukup besar, perlu adanya penjelasan," katanya. Selain itu, kata dia, kejadian bom tersebut juga bisa "dipelintir" oleh pihak yang menginginkan kedatangan Bush, dengan asumsi bahwa adanya upaya justifikasi atau pembenaran yang mengatakan bahwa keadaan di Indonesia, masih rawan dengan tindakan kekerasan dan terorisme. "Jika Bush batal batang akan menguatkan stigma itu kepada dunia internasional, bahwa Indonesia masih menjadi daerah yang tidak aman," kata Boni Hargens, yang juga menjadi pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI. Dikatakannya, selain stigma bahwa Indonesia merupakan negara yang kurang aman, pemerintah juga tidak mempunyai wibawa di mata internasional. Mengenai banyak aksi unjuk rasa menentang kedatangan Bush, ia justru mengatakan bahwa hal itu merupakan hal yang sangat positif, karena pemerintah harus mendapat tekanan oleh publik mengenai kebijakan yang diambilnya. "Saya mendukung hal tersebut sepanjang dilakukan secara tertib dan tidak anarkis," katanya. Lebih lanjut, ia juga menilai bahwa penerimaan kedatangan Bush oleh pemerintah sangat amat berlebihan. "Bukan hanya sangat berlebihan, tapi juga amat berlebihan, jadi amat sangat berlebihan," katanya. Menurut dia, AS berusaha menciptakan ketergantungan pemerintah Indonesia kepada negeri berjuluk "Paman Sam" itu dalam segi ekonomi saja, tetapi juga dari segi ideologi. "Jika ini sudah terjadi, maka semua aspek kehidupan bangsa Indonesia baik itu politik, sosial, budaya, ekonomi dan lainnya, ditentukan oleh negara asing," katanya. AS, kata dia, juga berusaha Indonesia menganut paham liberalisme dengan memberikan penghargaan kapada Menteri Keuangan Sri Mulyani. "Ini hanya sebagai justifikasi neoliberlaisme ala Amerika Serikat saja, dan tidak lebih dari itu," katanya. Begitu juga digembar-gemborkannya Presiden Susilo Bambang Yudoyono untuk meraih penghargaan sebagai nominasi pemenang Nobel Perdamaian. Padahal, MoU Helsinki --tentang mengakhiri konflik di Aceh -- hanya biasa saja dan tidak ada yang istimewa untuk memenangkan hadiah Nobel Perdamaian. Merisaukan Ikhwal wacana Nobel Perdamaian kepada Presiden Yudhoyono itu juga disampaikan Dr Moeslim Abdurrahman, cendekiawan Muslim yang juga Direktur Ma`arif Institute for Culture. Moeslim Abdurrahman menilai ada hal yang disebutnya "merisaukan" pada wacana yang memunculkan nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mendapatkan Nobel Perdamaian 2006, dan karena itu diperlukan tingkat kewaspadaan tertentu dari pihak yang terkesan ingin mendapatkan simpati dari Presiden Yudhoyono. "Sebagai warga negara saya risau, karena bagaimanapun juga kesan awalnya kan SBY calon kuat, dan kemudian diketahui nama pemenangnya adalah sosok yang sebelumnya malah tidak diketahui dan bahkan media massa di Indonesia juga tidak mengulas atau menyebut nama itu," katanya. Penghargaan Nobel Perdamaian 2006, akhirnya oleh Komite Nobel Norwegia diberikan kepada Muhammad Yunus dan Grameen Bank dari Bangladesh. Kepada ANTARA, Moeslim Abdurrahman mengemukakan bahwa kerisauan yang ditangkapnya dari wacana pemberian Nobel Perdamaian, sebenarnya adalah isu ketiga yang dicermatinya mendera SBY. Sebelum pengguliran wacana Nobel Perdamaian, dua isu lainnya adalah soal data angka kemiskinan yang disampaikan pada pidato kenegaraan kontroversial menyangkut angka kemiskinan dan pengangguran yang diklaim turun oleh Presiden Yudhoyono pada pidato kenegaraan 16 Agustus 2006 di DPR. Berkaitan dengan kontroversi itu, para ekonom menduga, Presiden telah ditipu oleh para menterinya yang bermental "Asal Bapak Senang" (ABS), atau dijerumuskan oleh orang-orang dekatnya. Di samping dua isu itu, yang ketiga adalah isu berkantornya SBY saat gempa Yogya, namun kemudian menuai kritik karena terkesan kehadiran fisik Kepala Negara tak signifikan dengan lancarnya koordinasi bantuan kepada korban. "Ketiga isu tersebut, saya lihat adalah hal-hal yang merisaukan, dan entah siapa dan di mana letaknya, ada kecenderungan intensif untuk membuat Presiden terkesan negatif," kata doktor antropologi lulusan University of Illinois, Urbana, Amerika Serikat itu. Menurut dia, gejala dan fenomena semacam itu kini perlu menjadi perhatian serius Presiden Yudhoyono untuk mulai kritis terhadap "inner-circle"-nya, dalam artian tidak lagi begitu mudah mempercayai kinerja para pembantunya bila kemudian justru kemudian menjerumuskan. Ia menambahkan kasus Nobel Perdamaian itu akhirnya hanya menjadi kontra-produktif bagi Presiden Yudhoyono, sehingga tidak lagi terjadi kondisi yang membuat posisi Kepala Negara justru negatif. "Sudah waktunya untuk hal yang `ABS` itu Presiden dapat lebih teliti dan kritis lagi," kata Ketua Lembaga Pemberdayaan Buruh, Tani, dan Nelayan, PP Muhammadiyah itu. Sedangkan Boni Hargens mengingatkan pentingnya Indonesia untuk tetap mengritisi agenda AS yang tujuannya adalah membuat ketergantungan. "(Upaya) ini diciptakan agar pemerintah Indonesia tetap bergantung kepada AS," katanya. Ia mengharapkan kepada pemerintah agar percaya kepada diri sendiri, dan lebih beradab dalam menjalin hubungan dengan negara lain. "Tunjukkan bahwa negara kita aman dan berdaulat, tidak lemah dalam menghadapi negara seperti AS," demikian Boni Hargens. (*)

Copyright © ANTARA 2006