Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah diminta menyiapkan sejumlah langkah untuk mengantisipasi krisis pangan tahun 2007 menyusul melonjaknya harga biji-bijian seperti jagung, gandum dan kedelai di pasar internasional. Hal itu dikemukakan Wakil Ketua DPR Bidang Industri, Perdagangan dan Perekonomian Muhaimin Iskandar, di Jakarta, Selasa, menanggapi naiknya harga berbagai komoditas pangan di pasar internasional dalam beberapa bulan terakhir menyusul dikembangkannya bahan bakar nabati di berbagai negara. "Kondisinya bukan lagi waspada, tapi sudah siaga satu. Pemerintah harus sudah menyiapkan skenario kebijakan untuk mengantisipasi perkembangan tersebut," ujar politikus dari PKB itu. Ia mengkhawatirkan tanpa antisipasi yang bagus, krisis pangan akan menyebabkan terjadinya instabilitas politik, karena pangan menyangkut hajat hidup masyarakat dan memberi kontribusi yang besar bagi tingkat inflasi di tanah air. "Kalau tidak ditangani dengan baik inflasi akan kembali ke dua digit, dan makin banyak rakyat menjadi miskin. Itu berbahaya, karena pengalaman juga menunjukkan banyak pemerintahan yang jatuh karena tidak mampu membendung laju inflasi," katanya. Menurut dia, sektor yang juga terpukul akibat lonjakan harga komoditas biji-bijian itu adalah industri berbasis pangan, seperti makanan olahan, makanan bayi, dan peternakan unggas, yang menggunakan tepung jagung, gandum dan kedelai sebagai bahan baku. Berdasarkan data Forum Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI) sejak awal tahun 2006 sampai akhir Oktober 2006 harga komoditas biji-bijian di pasar internasional naik sekitar 35-45 persen. Harga jagung misalnya untuk eks Amerika Serikat (AS) -- yang biasa menjadi patokan -- naik dari 145 dolar AS menjadi 210 dolar AS per metrik ton yang mendongkrak harga jagung lokal menjadi Rp2.100 dari sebelumnya Rp1.450 per kilogram. Selain itu harga gandum jenis hard red winter (HRW )ordinary pun naik dari 170 menjadi 227 dolar AS per metrik ton, yang kelak akan memicu harga tepung terigu di dalam negeri. Kenaikan harga itu terjadi selain akibat menurunnya produksi di sejumlah negara sentra produsen, tapi juga oleh semakin banyaknya komoditas tersebut yang digunakan menjadi bahan baku methanol.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006