Jakarta (ANTARA News) - Di tengah rintik hujan dan kemacetan Ibu Kota, tepatnya di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, sebuah taksi berwarta biru meluncur mencari penumpang.

Beruntung... satu penumpang memberhentikan taksi dan lalu masuk. Pria berlogat Sumatera, Abdullah Alam, tersenyum menyapa sang penumpang.

Meski hiruk pikuk kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi sedang menjadi topik hangat pembicaraan orang-orang, pria 40 tahunan itu sangat tenang mengemudikan taksi yang sudah 1,5 tahun menjadi sumber nafkah keluarganya itu.

"Saya ini orang susah, tapi saya rela susah. Saya setuju harga BBM bersubsidi dinaikan, asalkan pemerintah benar-benar mengelola dana pengalihan subsidi itu dengan benar. Asalkan transparan subsidi digunakan untuk apa. Saya sadar saya hidup bukan hanya untuk diri saya sendiri tapi juga untuk anak cucu saya, saya harap apa yang saya tanam hari ini hasilnya bisa saya petik nanti," kata Abdullah di Jakarta, Selasa.

Pria yang tinggal di Kampung Kreo, Tangerang, Banten itu berharap pemerintah benar-benar menggunakan dana pengalihan subsidi utamanya untuk pendidikan.

"Sebenarnya keluarga ngeluh juga yang tadinya makan ayam sekarang jadi makan tempe. Tapi saya berharap nanti bisa memetik kenikmatan apa yang sudah saya ditanam, anak-anak saya bisa sekolah tinggi. Di negara maju itu, mereka maju bukan karena subsidi tapi pendidikan," kata bapak dua anak tersebut.

Abdullah pun mengatakan pengalihan subsidi memang diperlukan agar tak salah sasaran.

"Bagus subsidi dialihkan, biar orang-orang kaya itu tidak kenyang sendiri. Yang sudah kaya jangan memanfaatkan subsidi. Kalau BBM subsidi tidak naik, yang menikmati orang kaya saja, jadi lebih baik dialihkan ke pendidikan atau pengobatan gratis saja lah," katanya.

Abdullah menyadari betul BBM adalah jantung transportasi umum. Kenaikan harga BBM pasti semua orang yang terlibat di industri tersebut akan "terluka".

Namun menurutnya, itu adalah "jamu pahit, nanti juga akan membuat kita kuat," katanya.


Perang siasat

Kenaikan harga BBM bersubsidi tak mungkin dielakkan. Dengan sewa sistem komisi, Abdullah setidaknya harus menyisihkan uang Rp50.000 untuk bensin sekali jalan.

"Untungnya di perusahaan saya ada penambahan komisi untuk ganti kenaikan harga BBM itu. Misalnya hari ini saya narik dapat Rp400.000, komisi dapat Rp40.000, jadi nanti ada tambahan diganti sama perusahaan untuk uang bensin sampai ada peresmian penyesuaian tarif argo," katanya.

Dengan naiknya harga bensin subsidi, Abdullah justru gembira karena persaingan dengan taksi lain ber-argo lebih rendah namun bersistem setoran malah menurun.

"Persaingan lebih enak, karena biasanya yang argonya lebih rendah itu akan kewalahan untuk jalan karena bensin mahal dan mereka tak dapat kompensasi dari perusahaan. Makanya saya harap sih argo di Jakarta semua sama," katanya.

Di hari ramai, Abdullah bisa mengantongi Rp800.000 dengan komisi Rp170.000 hingga Rp200.000 sekali jalan. Hal yang memberatkannya adalah pengeluaran untuk kebutuhan pokok dan komoditas pangan sehari-hari lainnya yang justru ikut naik jauh sebelum pengumuman kenaikan BBM.

"Pengaruh lebih ke kebutuhan pangan, 30 persen penghasilan saya dipotong untuk pengeluaran pangan," katanya.

Oleh karenanya, Abdullah berharap pemerintah bisa segera menstabilkan harga pangan.

Senin malam, Jokowi menaikan harga BBM jenis premium dan solar bersubsidi. Harga premium naik dari Rp6.500 menjadi Rp8.500 sedangkan solar naik dari Rp5.500 menjadi Rp7.500. Kenaikan harga tersebut berlaku efektif sejak 18 November 2014 pukul 00.00 WIB.

Malam menjelang kenaikan harga, sejumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Tanah Air diserbu pembeli yang ingin mendapatkan sedikit keuntungan harga sebelum BBM benar-benar naik keesokan harinya.

Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2014